
RI News Portal. Tapanuli Selatan – Gerakan mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Cipayung Plus kembali memperlihatkan perannya sebagai kelompok terdidik yang berupaya menjaga fungsi kontrol sosial terhadap kekuasaan. Aksi unjuk rasa yang digelar di depan kantor DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan berlangsung dengan tertib, meskipun diwarnai hujan gerimis, tanpa mengurangi kekuatan simbolis orasi yang mereka sampaikan.
Cipayung Plus merupakan wadah konsolidasi organisasi mahasiswa dari berbagai latar belakang ideologi dan sejarah panjang pergerakan, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), hingga KAHMI dan HIMMA. Keberagaman ini mempertegas bahwa mahasiswa tidak semata-mata berbicara dari kepentingan organisasi, melainkan mengusung isu kebangsaan yang bersifat lebih luas.
Dalam orasi perwakilan HMI, mahasiswa menyoroti isu-isu fundamental seperti desakan menurunkan DPR, menolak kenaikan gaji legislatif, menuntut hukuman tegas bagi pelaku kekerasan terhadap pengemudi ojek daring, hingga dorongan agar Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor segera disahkan. Sementara Ketua KAHMI menyoroti aspek representasi lokal: rendahnya tingkat kehadiran anggota DPRD Tapanuli Selatan dalam agenda penting. Dari 35 anggota DPRD, hanya delapan orang yang menemui mahasiswa. Kondisi ini dikritik keras sebagai bentuk ketidakseriusan lembaga perwakilan dalam mendengar aspirasi masyarakat.

Perwakilan IMM menambahkan nuansa moral dalam orasi mereka. Di tengah hujan, mereka mengajak anggota DPRD yang hadir untuk ikut berdiri bersama mahasiswa di luar ruangan sebagai simbol kesetaraan antara rakyat dan wakil rakyat. Kritik yang dilontarkan tegas: “Kalian bukan lagi perwakilan rakyat, melainkan pembohong rakyat,” ucap salah satu orator. Pernyataan itu menggambarkan kekecewaan publik atas lemahnya komitmen representasi politik.
Sementara dari kelompok mahasiswi, tuntutan yang disuarakan memperkuat dimensi keberanian perempuan dalam gerakan sosial. Mereka menegaskan desakan agar DPR dibubarkan, Kapolri dicopot, dan UU Perampasan Aset Korupsi segera disahkan. Kehadiran suara perempuan dalam aksi ini memperlihatkan bahwa perjuangan moral dan politik mahasiswa semakin inklusif.
Dari pihak legislatif, anggota DPRD Tapanuli Selatan yang hadir, antara lain Borkat Harahap dari Partai Amanat Nasional (PAN), menyampaikan apresiasi sekaligus janji untuk meneruskan tuntutan mahasiswa ke forum sidang DPRD. Ia bahkan menegaskan ikatan emosionalnya dengan gerakan mahasiswa karena pernah aktif sebagai pengurus HMI di masa lalu. Hal ini menjadi simbol jembatan antara dunia aktivisme kampus dan dunia politik formal, meskipun efektivitas tindak lanjutnya masih perlu diuji.
Baca juga : HUT ke-34 Lampung Barat: Partisipasi Masyarakat dan Pelestarian Budaya Jadi Fokus Utama
Pernyataan anggota dewan lainnya, seperti Eddy Hasibuan dari Partai Gerindra, yang berkomitmen untuk “maju dan mundur bersama rakyat Tapanuli Selatan”, juga menegaskan retorika politik yang mencoba menenangkan massa. Namun, apakah janji tersebut mampu terwujud dalam kebijakan nyata, tetap menjadi pertanyaan kritis yang disimpan oleh mahasiswa.
Aksi damai Cipayung Plus ini berakhir dengan sesi foto bersama antara mahasiswa, anggota DPRD, Kapolres Tapanuli Selatan AKBP Yon Eddy, dan aparat keamanan yang mengawal jalannya aksi. Keseluruhan rangkaian berlangsung kondusif, tanpa insiden anarkis, menandai bahwa mahasiswa masih memegang teguh tradisi intelektual: menyuarakan kritik melalui mekanisme damai dan argumentatif.
Dalam perspektif akademis, aksi ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, mahasiswa masih menempatkan dirinya sebagai agent of change dan moral force di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi politik. Kedua, kehadiran DPRD yang terbatas justru mempertegas kritik atas lemahnya mekanisme representasi rakyat di tingkat lokal.
Demonstrasi Cipayung Plus di Tapanuli Selatan bukan sekadar ajang orasi, tetapi sebuah proses pembelajaran demokrasi. Mahasiswa tampil bukan hanya sebagai pengkritik, melainkan sebagai pengingat bahwa legitimasi politik tidak hanya lahir dari pemilu, melainkan juga dari keberanian mendengar, berdialog, dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Dalam situasi sosial-politik yang kerap ditandai krisis kepercayaan publik, aksi damai mahasiswa ini menjadi refleksi penting: demokrasi tidak boleh berhenti di ruang parlemen, melainkan harus hidup di jalanan, di suara rakyat, dan di keberanian generasi muda untuk bersuara.
Pewarta : Indra Saputra
