
RI News Portal. Jakarta, 27 Agustus 2025 – Di tengah hiruk-pikuk lalu lintas Ibu Kota, sekelompok wartawan dari Ikatan Wartawan Hukum Indonesia (Iwakum) menggelar aksi teatrikal yang penuh simbolisme di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, pada Rabu pagi. Mereka berdiri tegak di tangga depan gedung berarsitektur megah itu, membentangkan poster berukuran besar bertuliskan “Stop Kriminalisasi Wartawan”. Aksi ini bukan sekadar protes, melainkan panggilan mendesak untuk reformasi hukum yang lebih melindungi profesi jurnalistik, di mana wartawan sering kali menjadi korban ancaman pidana dan perdata hanya karena menjalankan tugasnya.
Aksi ini berawal dari permohonan uji materi yang diajukan Iwakum ke MK, meminta agar pasal-pasal tertentu dalam undang-undang yang relevan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Secara spesifik, Iwakum menuntut agar pasal tersebut kehilangan kekuatan hukum mengikatnya kecuali jika dimaknai ulang dengan dua prinsip utama: pertama, tindakan kepolisian maupun gugatan perdata dilarang dilakukan terhadap wartawan selama mereka menjalankan profesi sesuai kode etik pers; kedua, segala bentuk pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, atau penahanan terhadap wartawan hanya boleh dilakukan setelah memperoleh izin resmi dari Dewan Pers.

Ketua Umum Iwakum, Irfan Kamil, yang memimpin aksi tersebut, menekankan bahwa inisiatif ini merupakan bagian dari perjuangan panjang untuk mewujudkan kemerdekaan pers yang autentik di Indonesia. “Kami ingin memastikan bahwa kemerdekaan pers bukan sekadar jargon kosong, tetapi benar-benar dilindungi secara hukum,” ujar Kamil di sela-sela aksi, dengan suara tegas yang bergema di antara para peserta. Ia menambahkan bahwa wartawan kerap kali bekerja di bawah tekanan tak terlihat, di mana tugas jurnalistik yang seharusnya netral justru menjadi alasan untuk kriminalisasi. “Wartawan tidak boleh lagi bekerja di bawah bayang-bayang ancaman kriminalisasi maupun gugatan perdata hanya karena menjalankan tugas jurnalistik,” tegasnya, sambil menunjuk poster yang menjadi pusat perhatian.
Pendapat serupa disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Iwakum, Ponco Sulaksono, yang melihat aksi ini sebagai momentum untuk menyamakan derajat perlindungan hukum bagi wartawan dengan profesi lain seperti dokter atau pengacara. “Wartawan juga seharusnya mendapat perlindungan hukum yang tegas dan tidak multitafsir,” kata Ponco, menyoroti bagaimana ketidakjelasan regulasi saat ini sering dimanfaatkan untuk membungkam suara kritis pers. Menurutnya, tanpa perlindungan yang kuat, demokrasi Indonesia akan kehilangan salah satu pilar utamanya, yakni kebebasan informasi yang transparan dan akuntabel.
Dalam konteks lebih luas, aksi teatrikal ini mencerminkan tren global di mana profesi jurnalistik semakin rentan terhadap intervensi hukum, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Data dari organisasi pemantau pers internasional menunjukkan peningkatan kasus kriminalisasi wartawan dalam dekade terakhir, sering kali terkait dengan pelaporan isu sensitif seperti korupsi atau pelanggaran hak asasi manusia. Di Indonesia sendiri, kasus-kasus seperti penahanan wartawan atas tuduhan pencemaran nama baik telah menjadi sorotan, mendorong diskusi akademis tentang keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab etis.
Para peserta aksi, yang terdiri dari puluhan wartawan dari berbagai media, berharap permohonan uji materi ini akan menjadi tonggak baru dalam sejarah pers Indonesia. Mereka berjanji akan terus mengawal proses di MK hingga keputusan final diumumkan. Sementara itu, pihak MK belum memberikan respons resmi terhadap aksi ini, meski gedung tersebut tetap beroperasi normal di bawah pengawasan ketat keamanan.
Aksi ini tidak hanya menjadi berita hari ini, tetapi juga pengingat bagi masyarakat bahwa pers bebas adalah fondasi demokrasi yang sehat. Bagi Iwakum, perjuangan ini adalah tentang mewujudkan visi UUD 1945 yang menjamin hak atas informasi, tanpa kompromi.
Pewarta : Setiawan Wibisono S.TH
