
RI News Portal. Jakarta, 23 Agustus 2025 – Di tengah perayaan Hari Indonesia Menabung 2025, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menekankan perlunya reformasi mendalam dalam distribusi bantuan sosial (bansos). Menurutnya, bansos idealnya difokuskan pada kelompok lanjut usia (lansia) yang telah kehilangan kemampuan produktif, bukan pada usia produktif yang masih mampu bekerja. Pernyataan ini disampaikan dalam acara yang digelar di Jakarta pada Jumat (22/8/2025), menyoroti potensi masalah sosial-ekonomi jika penyaluran tidak tepat sasaran.
Dalam pidatonya, Dedi Mulyadi mengkritik pola distribusi bansos saat ini yang sering kali mencakup penerima berusia 40-45 tahun. “Nah, bansos ini harusnya diarahkan pada mereka yang usianya tidak lagi produktif, usia-usia yang sudah sangat tua. Kalau umurnya 40 tahun, 45 tahun masih bisa bekerja, menerima bansos malah jadi problem,” ujarnya. Ia menilai, pemberian bansos pada kelompok usia produktif dapat menciptakan ketergantungan, menghambat inisiatif kerja, dan pada akhirnya memperburuk ketimpangan ekonomi di masyarakat.

Untuk mengatasi isu ini, Dedi mengusulkan pendataan ulang penerima bansos di Jawa Barat dengan melibatkan langsung masyarakat setempat. Ia menekankan bahwa pendataan oleh pihak eksternal sering kali gagal menangkap realitas sosial di tingkat desa. “Putusan tentang masyarakat miskin di semua desa itu diputuskan dulu lewat peraturan desa. Nanti diputuskan di kabupaten lewat peraturan bupati atau wali kota, lalu provinsi,” jelasnya.
Pendekatan bottom-up ini, menurut Dedi, akan memastikan bahwa data mencerminkan kondisi riil, bukan asumsi dari luar. Dari perspektif akademis, konsep ini selaras dengan teori partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, seperti yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Robert Chambers dalam kerangka “participatory rural appraisal” (PRA). Metode ini menekankan keterlibatan komunitas untuk menghindari bias data, yang sering terjadi dalam program bantuan sosial di negara berkembang.
Baca juga : OJK Dorong Literasi Keuangan Generasi Muda Menuju Indonesia Emas 2045
Lebih lanjut, Dedi mendorong transparansi total dalam data penerima bansos. Ia mengusulkan agar daftar penerima diumumkan secara terbuka, memungkinkan masyarakat untuk mengajukan komplain jika ditemukan ketidakakuratan. “Ini harus dibuat seperti itu, agar tidak ada data tertutup, kemudian diumumkan menjadi hasil sensus,” tambahnya.
Implikasi dari usulan ini bersifat preventif terhadap korupsi dan penyelewengan. Studi dari Transparency International menunjukkan bahwa kurangnya transparansi dalam program bansos sering kali memicu korupsi, dengan Indonesia sendiri menduduki peringkat yang relatif rendah dalam Indeks Persepsi Korupsi global. Dengan membuka data, pemerintah daerah dapat membangun kepercayaan publik dan mengurangi risiko manipulasi.
Dedi juga memperingatkan bahwa distribusi bansos yang salah sasaran berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat. “Distribusi bansos yang tidak tepat sasaran akan menimbulkan persoalan kecemburuan sosial,” katanya. Fenomena ini, dari sudut pandang psikologi sosial, dapat dianalogikan dengan teori equity theory oleh John Stacey Adams, di mana persepsi ketidakadilan dalam distribusi sumber daya memicu ketegangan antarindividu atau kelompok.
Di Jawa Barat, dengan populasi lebih dari 50 juta jiwa dan tingkat kemiskinan yang masih signifikan (sekitar 7-8% berdasarkan data BPS terbaru), perbaikan data bansos menjadi krusial. Bansos yang tepat tidak hanya meringankan beban lansia—yang jumlahnya mencapai jutaan di provinsi ini—tetapi juga mendorong produktivitas usia muda melalui Hari Indonesia Menabung, yang bertujuan meningkatkan literasi keuangan nasional.
Pernyataan Dedi Mulyadi ini diharapkan menjadi katalisator bagi pemerintah pusat dan daerah untuk merevisi mekanisme bansos. Dalam konteks akademis, hal ini menggarisbawahi pentingnya evidence-based policy making, di mana data empiris dan partisipasi masyarakat menjadi fondasi utama. Pemerintah Jawa Barat telah menyatakan komitmen untuk segera mengimplementasikan usulan ini, meski tantangan logistik dalam pendataan ulang tetap menjadi perhatian utama.
Pewarta : Yudah Purnama
