
RI News Portal. Sragen – Setelah puluhan tahun terpinggirkan oleh arus hiburan modern, kesenian tradisional Rodat kembali bangkit di Kabupaten Sragen. Momentum kebangkitan ini berlangsung pada Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, di kediaman Awi, seorang pegiat media asal Desa Bonagung, Kecamatan Tanon.
Ratusan warga menjadi saksi ketika seni yang sarat nilai religius itu dipentaskan kembali. Inisiatif ini lahir dari kolaborasi Awi (43) dengan Robani (58), tokoh seni tradisional asal Desa Bagor, Kecamatan Miri. Bersama lebih dari 30 anggota, mereka menampilkan Rodat dengan iringan syair Islami-Jawa, tarian, hingga atraksi ekstrem seperti menyemburkan api, mengangkat kursi dengan gigi, hingga memecahkan genting menggunakan kepala.
Menurut catatan para pelaku seni, Rodat bukan sekadar hiburan. Ia mengandung pesan moral dan religius melalui syair yang dinyanyikan, parikan bernuansa pepeling, serta gerakan simbolis yang memiliki makna spiritual. Robani menegaskan, tradisi ini sudah ada turun-temurun sejak nenek moyang.

Dari sisi historis, penyelenggara Awi menambahkan, Rodat pernah menjadi sarana penyamaran masyarakat pribumi untuk berlatih bela diri dan baris-berbaris di masa kolonial, ketika aktivitas itu dilarang penjajah. Atraksi-atraksinya melambangkan daya tahan dan keteguhan menghadapi penindasan, sementara doa-doa khusus yang dilantunkan menjadi wujud syukur sekaligus permohonan perlindungan.
Namun, perkembangan zaman membuat Rodat kian terpinggirkan. Robani mengakui, sekitar 15 tahun terakhir kesenian ini hampir punah akibat dominasi hiburan modern. “Generasi muda lebih suka musik gitaran, campursari, atau hiburan digital. Tapi dengan kebangkitan kali ini, kami ingin warisan leluhur ini kembali hidup,” ujarnya.
Dalam sekali pentas, para pemain biasanya membawakan lagu nasional Garuda Pancasila, disusul lagu-lagu Jawa seperti Kulonuwun, Jalan-jalan, dan Turun Sari. Seluruh pemain mengenakan busana hitam dan membentuk lingkaran, simbol persatuan dan perlindungan bagi seluruh anggota.
Baca juga : Ahli Waris Klaim Tanah PLTU Muara Tawar: Surat ke Presiden Prabowo hingga Ancaman Pengambilalihan
Kebangkitan Rodat di Sragen tidak hanya menjadi peristiwa seni, tetapi juga refleksi penting bagi kebijakan kebudayaan lokal. Awi menekankan perlunya dukungan pemerintah dalam menciptakan ruang-ruang publik yang memungkinkan seni tradisional hidup berdampingan dengan budaya populer.
“Bayangkan kalau setiap desa punya kantong budaya sendiri yang dikelola masyarakat, dengan fasilitasi pemerintah. Saya yakin tradisi seperti Rodat akan kembali bergairah,” ujarnya. Awi juga mendorong perubahan paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi kebudayaan, agar pemilik tradisi menjadi subjek, bukan sekadar objek festival.
Rodat mencerminkan relasi antara agama, seni, dan masyarakat Jawa. Nilai religius tampak pada syair Islami-Jawa yang mengajarkan kebajikan, nilai historis hadir dalam kaitannya dengan perjuangan melawan kolonialisme, sementara nilai sosial terlihat pada fungsi seni ini sebagai ruang komunal yang menyatukan warga.
Kesenian tradisional seperti Rodat tidak hanya perlu dilestarikan sebagai artefak budaya, tetapi juga dikontekstualisasikan dalam pembangunan sosial-budaya lokal. Dengan kata lain, Rodat bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat Sragen merumuskan identitas dan kebanggaan di tengah arus globalisasi.
Pewarta : Danang
