
RI News Portal. Wonogiri – Dalam konteks pembangunan nasional yang menekankan inklusivitas dan partisipasi masyarakat, Program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) Tahap III Tahun Anggaran 2025 telah mencapai tahap penyelesaian di Desa Boto, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Program ini, yang berlangsung selama 30 hari dan diakhiri pada 21 Agustus 2025, menyoroti model kolaborasi antara Tentara Nasional Indonesia (TNI), pemerintah daerah, dan komunitas lokal dalam mengatasi ketimpangan infrastruktur di wilayah pedesaan. Berbeda dari liputan media konvensional yang cenderung menekankan aspek seremonial, analisis ini mengeksplorasi implikasi struktural program terhadap ketahanan sosial-ekonomi masyarakat desa, dengan penekanan pada prinsip gotong royong sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan.
Upacara penutupan yang digelar di Lapangan Desa Boto menjadi simbolisasi keberhasilan kolektif, dihadiri oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) serta perwakilan warga setempat. Komandan Distrik Militer (Dandim) 0728/Wonogiri, Letkol Inf Edi Ristriyono, menjelaskan bahwa kolaborasi antara anggota Kodim dan penduduk desa menghasilkan pembangunan rabat beton jalan sepanjang 955 meter serta jembatan dengan panjang 5,8 meter dan tinggi 5 meter. Infrastruktur ini tidak hanya menyambungkan antar-dusun yang sebelumnya terisolasi, tetapi juga membuka akses lebih efisien ke objek vital seperti pusat ekonomi dan layanan publik. Penamaan jembatan sebagai “Jembatan Diponegoro” oleh Dandim Edi dan warga mencerminkan upaya memadukan nilai historis nasional dengan kebutuhan kontemporer, mengingatkan pada semangat perjuangan Pangeran Diponegoro dalam konteks modern pembangunan.

Dari perspektif anggaran, proyek ini menyerap dana sebesar Rp884 juta, dengan kontribusi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp169 juta dan APBD Kabupaten Wonogiri Rp675 juta. Pendekatan ini mengilustrasikan desentralisasi fiskal dalam pembangunan, di mana dana daerah dimanfaatkan untuk prioritas lokal, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mendorong otonomi dalam infrastruktur. Berbeda dari narasi media yang sering kali terbatas pada angka-angka, analisis akademis ini menyoroti bagaimana alokasi dana tersebut berkontribusi pada pengurangan disparitas regional, khususnya di Wonogiri yang memiliki topografi berbukit dan tantangan aksesibilitas.
Letkol Edi Ristriyono menekankan bahwa TMMD tidak sekadar proyek fisik, melainkan katalisator untuk memperkuat kohesi sosial. “Kegiatan ini mampu meningkatkan semangat kebersamaan serta gotong royong untuk mengatasi persoalan di daerah, seperti membuka akses jalan dusun maupun desa yang tadinya terisolasi sehingga menjadi terbuka,” ujarnya. Pernyataan ini selaras dengan teori pembangunan partisipatif Amartya Sen, di mana pemberdayaan masyarakat melalui partisipasi aktif meningkatkan kapabilitas individu dan komunal. Program ini juga menjamin penyelesaian tepat waktu dengan kualitas tinggi, memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan desa melalui sinergi TNI, instansi pemerintah, dan masyarakat.
Sebagai kelanjutan dari tahap sebelumnya di Eromoko dan Jatipurno, Bupati Wonogiri Setyo Sukarno memandang TMMD sebagai bagian dari strategi komprehensif pemerintah daerah. “Inilah bentuk percepatan pembangunan yang mempersatukan segenap elemen pemerintah dan masyarakat untuk membangun desa secara komprehensif dan menyeluruh, sekaligus untuk terus menjaga rasa persatuan, kesatuan, dan semangat kerukunan dan bergotong royong dalam masyarakat,” katanya. Model ini mendukung visi Kabupaten Wonogiri untuk menjadi masyarakat berdaya saing, maju, sejahtera, dan berkelanjutan dalam lima tahun mendatang, dengan penekanan pada sinergi antar-elemen untuk memajukan wilayah.
Dalam konteks lebih luas, TMMD Tahap III 2025 di Desa Boto menunjukkan evolusi program militer-sipil di Indonesia, yang bermula dari era Orde Baru sebagai alat stabilisasi keamanan, kini bertransformasi menjadi instrumen pembangunan inklusif. Berbeda dari liputan media online yang fokus pada aspek event-driven seperti upacara pembukaan dan penutupan, perspektif ini menyoroti potensi jangka panjang: peningkatan mobilitas ekonomi, reduksi kemiskinan pedesaan, dan penguatan resiliensi komunitas terhadap bencana alam. Namun, tantangan seperti keberlanjutan pemeliharaan infrastruktur pasca-program memerlukan monitoring berkelanjutan oleh pemerintah daerah. Secara keseluruhan, inisiatif ini memperkuat narasi bahwa pembangunan desa bukan hanya tanggung jawab negara, melainkan usaha kolektif yang mengintegrasikan militer sebagai mitra masyarakat.
Pewarta : Nandar Suyadi
