
RI News Portal. Lampung Timur – Peristiwa ekskusi rumah di Labuhan Ratu, Lampung Timur, pada Rabu (13/8), menjadi studi kasus menarik dalam ranah sosiologi hukum dan jurnalisme akademis. Insiden yang melibatkan Misdar (56), pemilik rumah yang menolak diekskusi, menunjukkan ketegangan antara penegakan hukum formal (putusan pengadilan) dan resistensi sosial-ekonomi dari pihak yang terkena dampak. Analisis ini akan mengupas kronologi peristiwa, aktor yang terlibat, serta implikasi sosial dari tindakan tersebut.
Pada tanggal 13 Agustus, proses ekskusi sebuah rumah mewah di Dusun Plangkawati, Desa Labuhan Ratu VII, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, menjadi sorotan publik. Ekskusi ini merupakan hasil dari putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap, terkait dengan kasus kredit macet antara Misdar sebagai debitur dan sebuah bank. Rumah tersebut, yang dijadikan agunan, dilelang setelah Misdar gagal melunasi utangnya dan dimenangkan oleh seorang warga dari Kecamatan Sekampung.
Proses ekskusi dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri Sukadana, Diah Astuti, dan didukung oleh ratusan personel gabungan dari Polri dan TNI. Kehadiran aparat keamanan yang masif, termasuk kendaraan taktis seperti barakuda dan water canon, menunjukkan antisipasi terhadap kemungkinan resistensi. Ini adalah bentuk pengamanan standar untuk kasus-kasus yang berpotensi menimbulkan kericuhan, mencerminkan adanya prediksi konflik yang akan terjadi.

Saat tim ekskusi tiba, Misdar menolak untuk keluar dan mengancam akan membakar rumah serta melakukan bakar diri. Aksi ini dapat diinterpretasikan sebagai perlawanan simbolik terhadap sistem hukum yang dianggapnya merugikan. Ancaman bakar diri sering kali menjadi ekspresi keputusasaan ekstrem, di mana individu merasa kehilangan kontrol atas nasibnya dan menggunakan tubuhnya sebagai media protes terakhir. Beruntungnya, tindakan tersebut dapat dicegah oleh aparat, dan Misdar berhasil diamankan.
Aktor dan Tensi Sosial
- Misdar (Pemilik Rumah): Misdar berada dalam posisi sebagai korban dari kegagalan finansial yang berujung pada hilangnya aset utama. Resistensinya bukan hanya penolakan terhadap hukum, tetapi juga perlawanan terhadap kehilangan identitas dan stabilitas hidup. Tindakan ekstremnya mencerminkan ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk menerima realitas hukum yang menimpanya.
- Tim Ekskusi (Pengadilan, Polri, TNI): Tim ini mewakili kekuatan negara yang bertugas menegakkan hukum. Pernyataan Diah Astuti, “Kami hanya menjalankan tugas,” menegaskan bahwa tindakan mereka didasarkan pada prosedur hukum yang sah. Peran mereka, meskipun sering kali dianggap “tidak manusiawi” oleh pihak yang diekskusi, adalah esensial dalam menjaga kepastian hukum dan hak-hak pihak pemenang lelang.
- Warga Sekitar: Kehadiran warga yang menyaksikan ekskusi menunjukkan bahwa peristiwa ini memiliki dimensi sosial. Peristiwa ekskusi sering kali memicu simpati dari komunitas terhadap pihak yang diekskusi, sementara di sisi lain, dapat menimbulkan pertanyaan tentang keadilan sosial dan peran lembaga perbankan dalam masyarakat.
Baca juga : Peringatan HUT RI ke-80 dan Prestasi Akademik SDN 2 Sukadana Pasar
Ekskusi di Labuhan Ratu merupakan manifestasi dari konflik multidimensi: konflik hukum, ekonomi, dan sosial. Meskipun secara legal ekskusi ini sah, peristiwa ini menyoroti kerapuhan individu di hadapan sistem hukum-ekonomi yang kompleks. Perlawanan Misdar, meski gagal, menjadi pengingat bagi masyarakat dan pembuat kebijakan tentang perlunya mekanisme resolusi konflik yang lebih humanis dan proteksi sosial bagi individu yang berada di ambang kebangkrutan. Kejadian ini layak menjadi bahan kajian lebih lanjut dalam konteks studi kasus tentang keadilan prosedural dan keadilan substantif dalam sistem hukum Indonesia.
Pewarta : Lii
