RI News Portal. Kyiv, 22 November 2025 – Presiden Volodymyr Zelenskyy secara tegas menolak kerangka perdamaian 28 poin yang diajukan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Dalam pidato video berdurasi tujuh menit yang dirilis Jumat malam, Zelenskyy menyebut proposal itu sebagai “pilihan antara martabat bangsa atau kehilangan sekutu terpenting”, sekaligus menegaskan bahwa Ukraina tidak akan menerima persyaratan yang secara efektif berarti kapitulasi.
“Ukraina sedang berada pada titik paling kritis dalam sejarah modernnya,” ujar Zelenskyy dengan nada yang jarang terdengar begitu keras. Ia mengungkapkan bahwa Washington telah menetapkan batas waktu hingga 27 November bagi Kyiv untuk menyetujui dokumen tersebut, dengan ancaman nyata berupa penghentian total pengiriman senjata dan kerja sama intelijen jika Ukraina menolak.
Inti kontroversi terletak pada tiga klausul utama yang selama ini menjadi garis merah bagi Kyiv:
- Pengakuan de facto atas pendudukan Rusia atas wilayah yang direbut sejak 2014 dan 2022;
- Pembatasan drastis jumlah angkatan bersenjata Ukraina serta zona demiliterisasi permanen di beberapa oblast;
- Penghentian permanen proses aksesi Ukraina ke NATO, tanpa jaminan keamanan alternatif yang kredibel.

Dokumen yang sama, menurut pernyataan Kremlin pada Jumat malam, “dapat menjadi landasan yang baik untuk penyelesaian akhir” – pernyataan yang langsung memicu gelombang kemarahan di kalangan elit politik dan militer Ukraina.
Sumber diplomatik senior di Kyiv yang enggan disebut namanya menyatakan bahwa tekanan dari Gedung Putih kali ini jauh lebih berat ketimbang negosiasi era Biden. “Ini bukan lagi negosiasi, ini ultimatum,” katanya. “Mereka tahu musim dingin akan sangat sulit tanpa bantuan militer AS, dan mereka memanfaatkan momentum itu.”
Zelenskyy merespons dengan nada yang menggabungkan kemarahan dan tekad. Ia mengumumkan bahwa dalam beberapa hari mendatang Ukraina akan menyodorkan counter-proposal sendiri yang “menghormati kedaulatan, integritas wilayah, dan hak bangsa Ukraina untuk memilih masa depannya”. Ia juga mengonfirmasi bahwa pembicaraan telepon langsung dengan Presiden Trump dijadwalkan pekan depan – pertemuan yang akan menentukan apakah hubungan transatlantik yang selama ini menjadi tulang punggung pertahanan Ukraina akan tetap bertahan atau retak di bawah tekanan.
Baca juga : Wakil Presiden Gibran Tekankan Afrika sebagai “Masa Depan” Kerja Sama Strategis Indonesia
Di dalam negeri, penolakan Zelenskyy justru memperkuat dukungan publik. Survei kilat yang dilakukan lembaga sosiologi independen pada Sabtu pagi menunjukkan 78% responden menolak segala bentuk kesepakatan yang mencakup pengakuan atas wilayah pendudukan, angka yang bahkan lebih tinggi dari puncak solidaritas nasional pada Maret 2022.
Sementara itu, para analis militer memperingatkan bahwa penghentian pasokan senjata AS – terutama peluru artileri 155 mm, rudal ATACMS, dan komponen sistem pertahanan udara – dapat melemahkan garis depan di Donbas dan Kharkiv secara signifikan dalam hitungan minggu. “Kita bisa bertahan beberapa bulan dengan stok Eropa dan produksi dalam negeri,” kata seorang jenderal senior yang juga berbicara tanpa mau disebut namanya, “tapi tidak setahun.”
Di tengah kabut diplomatik yang semakin pekat, satu hal menjadi jelas: Ukraina kini berdiri di persimpangan yang akan menentukan bukan hanya masa depan perang, tetapi juga identitasnya sebagai negara berdaulat di era pasca-Perang Dingin. Pilihan yang dihadapi Zelenskyy bukan lagi antara perang dan damai, melainkan antara damai yang memalukan atau perang yang semakin sendirian.
Pewarta : Anjar Bramantyo

