
RI News Portal. Sambas, Kalimantan Barat 14 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk angin pantai barat Kalimantan yang membawa aroma garam dan tanah basah, Kabupaten Sambas kini menjadi panggung utama perjuangan melawan bayang-bayang pertambangan liar. Workshop bertajuk “Penataan Pertambangan Berkelanjutan: Dari PETI ke Potensi Ekonomi Inklusif” yang digelar di Aula Inspektorat Kabupaten Sambas, Senin lalu (13/10), bukan sekadar pertemuan rutin. Acara ini menjadi titik tolak bagi pemerintah daerah untuk merajut ulang masa depan sumber daya alamnya, dengan narasumber utama Doktor Abdul Harris Fahmi, ST, MT, Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Kalimantan Barat, yang membawa visi ilmiah tentang konservasi di balik galian.
Hadir sebagai saksi bisu sejarah lokal, perwakilan Bupati Sambas menegaskan komitmen eksekutif daerah dalam mengintegrasikan penataan pertambangan ke dalam agenda pembangunan 2025-2030. “Kami tidak lagi membiarkan emas menjadi kutukan, tapi peluang yang merata,” ujarnya singkat di pembukaan acara. Sementara itu, Mardani, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Sambas, menyoroti urgensi legislasi baru untuk mengatasi celah regulasi yang selama ini dimanfaatkan oleh Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Kepala desa-desa di wilayah rawan seperti Paloh dan Tebas turut hadir, membawa suara grassroots yang haus akan transparansi. Pelaksana acara, Urai Guntur Saputra, SE, dengan lincah memandu diskusi, didukung oleh perwakilan lembaga masyarakat seperti Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Sambas (FAMAPELS), yang menekankan keterlibatan komunitas sebagai pilar utama.

Abdul Harris Fahmi, dengan latar belakang keilmuan teknik pertambangan yang mendalam, membuka sesi utama dengan presentasi berbasis data empiris. “Penataan bukan sekadar pendataan, tapi rekonstruksi ekosistem,” katanya, merujuk pada studi Balitbang yang mengungkap potensi bahan galian di bekas tambang PETI mencapai 15-20% dari cadangan tersisa di Sambas. Ia menekankan pendekatan berbasis konservasi: evaluasi pemanfaatan lahan pasca-tambang untuk reboisasi mangrove dan pengembangan agroforestry, yang bisa meningkatkan pendapatan masyarakat hingga 30% melalui diversifikasi usaha. Fahmi juga mengkritik model pertambangan konvensional yang mengabaikan siklus hidrologi lokal, di mana air tanah tercemar merkuri dari PETI telah mengancam perikanan pantai Sambas—sebuah isu yang jarang dibahas di forum serupa.
Diskusi berlanjut dengan sorotan pada aktor-aktor utama di lapangan. PT Gemilang Alam Paloh dan PT Perkasa Sambas Mandiri, dua perusahaan berizin utama untuk pasir kuarsa, dipuji karena kontribusi mereka terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mencapai Rp 45 miliar tahun fiskal 2024. Namun, peserta workshop menuntut akuntabilitas lebih tinggi: bagaimana perusahaan ini bisa menjadi katalisator kesejahteraan, bukan hanya ekstraktor? “Kami butuh program CSR yang nyata, seperti pelatihan vokasi untuk anak muda desa, agar pasir kuarsa tak hanya mengalir ke luar, tapi membangun dari dalam,” tegas salah satu kepala desa dari Kecamatan Jawai.
Regulasi menjadi jantung perdebatan. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penanaman Modal dan amandemennya melalui Perda Nomor 14 Tahun 2015 telah menjadi fondasi, tapi kini dihadapkan pada dinamika Undang-Undang Minerba baru. Workshop ini merekomendasikan revisi perda untuk memasukkan klausul transparansi digital—seperti platform pelaporan real-time untuk produksi dan dampak lingkungan—yang selaras dengan Perpres 55/2022 tentang Pendelegasian Perizinan Pertambangan. Mardani menambahkan, “DPRD siap mempercepat ini, asal ada sinergi dengan provinsi untuk pengawasan lintas batas, mengingat Sambas bersebelahan dengan Sarawak.”
Pengawasan dan penindakan terhadap ilegalitas tak kalah krusial. Tim gabungan Satpol PP dan Dinas ESDM Kabupaten Sambas telah merazia 12 titik PETI sejak Januari 2025, menutup lubang galian dan merehabilitasi lahan seluas 25 hektar. Namun, tantangan tetap: korupsi di tingkat desa dan kurangnya teknologi pemantauan satelit. Fahmi mengusulkan kolaborasi dengan Balitbang untuk drone-based monitoring, yang bisa mengurangi kerusakan lingkungan hingga 40% berdasarkan simulasi modelnya.
Di balik data dan rekomendasi, workshop ini menggambarkan Sambas sebagai laboratorium hidup transisi hijau. Dengan kontribusi sektor pertambangan yang masih mendominasi 16% PDRB daerah—meski mengalami fluktuasi akibat regulasi nasional—penataan ini berpotensi mengubah narasi dari “daerah perbatasan miskin” menjadi “pusat ekonomi berkelanjutan”. Lembaga masyarakat seperti FAMAPELS berkomitmen mendampingi implementasi, memastikan suara nelayan dan petani tak tenggelam dalam gemerlap emas.
Sebagai penutup, Urai Guntur Saputra mengajak semua pihak: “Penataan ini bukan akhir, tapi babak baru. Mari kita gali bukan hanya tanah, tapi masa depan yang adil.” Dengan workshop ini, Sambas tak hanya membersihkan bekas luka PETI, tapi juga menabur benih harapan untuk generasi yang lahir di bawah pohon mangrove yang lestari.
Pewarta : Lisa Susanti
