
RI News Portal. Wonogiri, 17 September 2025 — Dalam langkah bersejarah menuju sistem hukum yang lebih berempati, Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah tampil sebagai pelopor nasional dalam menerapkan keadilan restoratif. Pada 16 September 2025, Pemerintah Kabupaten Wonogiri dan Kejaksaan Negeri Wonogiri menandatangani kesepakatan bersama di Pendopo Kabupaten, menekankan pentingnya pemulihan daripada hukuman dalam penyelesaian perkara pidana.
Inisiatif ini berfokus pada prinsip keadilan restoratif, yang bertujuan menyeimbangkan kebutuhan korban dan pelaku. Berbeda dengan pendekatan hukum tradisional yang berfokus pada hukuman, keadilan restoratif mengutamakan dialog, mediasi, dan reintegrasi sosial untuk menyembuhkan komunitas yang terdampak tindak pidana. Kesepakatan ini mencerminkan kesadaran yang meningkat di Indonesia bahwa hukum harus memupuk harmoni, bukan sekadar menjatuhkan sanksi.
Acara penandatanganan dihadiri oleh sejumlah pejabat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), termasuk Kapolres Wonogiri AKBP Wahyu Sulistyo, S.H., S.I.K., M.P.M. Kehadiran beliau menegaskan peran penting kepolisian dalam mendukung perubahan paradigma ini, menghubungkan penegakan hukum dengan kesejahteraan masyarakat.

Dokumen kesepakatan ditandatangani oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Kejaksaan Negeri Wonogiri, Tjut Zelvira Nofani, S.H., M.H., dan Bupati Wonogiri, Setyo Sukarno. Dalam sambutannya, Tjut Zelvira menekankan pendekatan inovatif Wonogiri, yang tidak hanya berhenti pada penghentian penuntutan, tetapi juga melanjutkan dengan pembinaan pelaku dan reintegrasi sosial. “Pemulihan ini bukan hanya untuk pelaku, tetapi juga untuk korban, terutama perempuan dan anak-anak yang sering mengalami dampak psikologis,” ujarnya. “Semua pihak, termasuk kepolisian, harus bekerja sama untuk mewujudkan ini.”
Bupati Setyo Sukarno menambahkan bahwa kesepakatan ini adalah bukti nyata komitmen pemerintah daerah untuk penegakan hukum yang adil. “Hukum harus menciptakan keteraturan, kedamaian, dan keadilan,” katanya. “Melalui keadilan restoratif, kita mengutamakan mediasi dan pemulihan, bukan hanya hukuman.”
Kapolres Wahyu Sulistyo menegaskan kesiapan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk bersinergi dengan kejaksaan, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ia memposisikan Polri tidak hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pengayom masyarakat yang membantu memulihkan harmoni sosial. “Keadilan restoratif adalah semangat baru dalam penegakan hukum,” tegasnya. “Kami berkomitmen penuh untuk memastikan penerapannya berjalan efektif di Wonogiri dengan pendekatan yang humanis dan persuasif.”
Secara akademis, keadilan restoratif mengacu pada tradisi lokal dan global, berbeda dari model retributif yang berfokus pada pengucilan pelaku. Di Indonesia, pendekatan ini selaras dengan nilai-nilai Pancasila tentang keadilan sosial dan didukung oleh peraturan Mahkamah Agung serta pedoman kejaksaan. Model Wonogiri inovatif karena mencakup tahap pramediasi, mediasi, dan pasca-kesepakatan, melibatkan tim lintas sektoral untuk memantau hasilnya.
Pendekatan ini mengatasi masalah sistemik seperti penjara yang penuh sesak dan tingkat pengulangan kejahatan dengan menekankan restitusi bagi korban dan tanggung jawab pelaku. Untuk kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, pendekatan ini menawarkan dukungan yang sensitif terhadap trauma, mengurangi risiko viktimisasi sekunder yang sering terjadi dalam proses pengadilan konvensional.
Keunikan Wonogiri terletak pada cakupan yang komprehensif: kesepakatan berdurasi dua tahun ini, yang dapat diperpanjang sesuai kebutuhan, menetapkan langkah-langkah strategis di setiap tahap. Ini menjadikan Wonogiri sebagai model bagi Jawa Tengah dan bahkan nasional, di mana upaya serupa masih terbatas. Dengan melibatkan Polri dalam mediasi dan reintegrasi, pendekatan ini memastikan penegakan hukum tetap adaptif dan berorientasi pada masyarakat.
Langkah ini menandakan evolusi dalam sistem hukum Indonesia, di mana hak asasi manusia dan keadilan sosial semakin menjadi acuan kebijakan. Kritik terhadap sistem tradisional menyatakan bahwa pendekatan tersebut memperparah ketimpangan; sebaliknya, keadilan restoratif mempromosikan inklusivitas. Di Wonogiri, keterlibatan Polri dapat menginspirasi adopsi nasional, menciptakan sistem hukum yang menyembuhkan, bukan memecah belah.
Ke depan, pemantauan akan menjadi kunci untuk mengukur dampaknya terhadap angka kejahatan, kepuasan korban, dan kohesi komunitas. Jika berhasil, inisiatif Wonogiri dapat mendorong kesepakatan serupa di daerah lain, mengubah wajah penegakan hukum menjadi alat pemulihan sosial.
Pewarta : Nandang Bramantyo
