
RI News Portal. Aceh, 18 September 2025 – Dalam sebuah langkah yang menegaskan komitmen terhadap keadilan sosial, Wali Kota Subulussalam, H. Rasyid Bancin (HRB), telah menyampaikan aspirasi masyarakatnya langsung ke Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Aduan ini difokuskan pada dugaan buruknya pelayanan di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Subulussalam, yang diyakini menghambat akses masyarakat kecil terhadap hak kepemilikan tanah. Langkah ini tidak hanya mencerminkan respons langsung terhadap keluhan warga, tetapi juga menggugat sistem agraria nasional yang dinilai lebih memihak pada korporasi besar daripada rakyat biasa.
Permasalahan sertifikasi tanah di Subulussalam bukanlah isu baru, melainkan bagian dari dinamika agraria yang lebih luas di wilayah Aceh. Menurut siaran pers yang diterima pada Rabu, 17 September 2025, Wali Kota HRB menyoroti bagaimana proses pengurusan Sertifikat Hak Milik (SHM) sering kali terhambat hingga bertahun-tahun tanpa kepastian, meskipun semua persyaratan telah dipenuhi oleh pemohon. “Saya banyak menerima laporan dari warga yang mengeluhkan lambatnya pengurusan sertifikat tanah mereka, bahkan sampai bertahun-tahun tidak kunjung menerima sertifikat, padahal semua syarat sudah dipenuhi,” ujar HRB dalam pernyataannya. Hal ini kontras tajam dengan kemudahan yang diberikan kepada pemodal besar, di mana lahan ribuan hektare dari program redistribusi tanah negara justru berpindah tangan ke korporasi dengan status SHM. “Ini tidak adil bagi masyarakat kecil,” tegasnya, menyoroti indikasi penyalahgunaan dana negara dalam proses tersebut.

Dalam konteks akademis, isu ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari ketimpangan struktural dalam kebijakan agraria Indonesia. Reformasi agraria yang digulirkan pemerintah pusat sejak era pasca-konflik Aceh seharusnya memprioritaskan redistribusi tanah untuk petani dan masyarakat lokal, bukan malah memperkuat dominasi korporasi. Penelitian dari berbagai lembaga seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sering kali menunjukkan pola serupa di daerah-daerah pinggiran, di mana birokrasi pertanahan menjadi penghalang utama bagi aksesibilitas hak tanah. Di Subulussalam, keluhan ini semakin diperburuk oleh konflik historis dengan perusahaan perkebunan, seperti dugaan pencaplokan lahan masyarakat seluas 125 hektare oleh PT Laot Bangko, serta penguasaan ilegal oleh entitas lain. HRB, yang sebelumnya telah melaporkan sengketa serupa ke Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh pada awal September, kini escalasi ke tingkat nasional melalui BAM DPR RI.
Wali Kota menekankan urgensi reformasi menyeluruh di Kantah Subulussalam. Ia berharap BAM DPR RI tidak hanya mengakomodir aspirasi ini, tetapi juga merekomendasikan evaluasi kinerja pegawai BPN langsung kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN (ATR/BPN) pusat. “Permasalahan ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Reformasi perlu dilakukan agar pelayanan BPN di Kota Subulussalam benar-benar berpihak kepada rakyat, bukan hanya pemodal besar,” pungkas HRB dalam siaran persnya. Pernyataan ini sejalan dengan tuntutan masyarakat setempat, yang mendesak transparansi dan akuntabilitas dalam proses sertifikasi untuk mencegah korupsi dan nepotisme.
Baca juga : Banjir Landa Tanah Pinoh: Puluhan Rumah Terendam, Polsek Kota Baru Intensifkan Patroli
Langkah HRB ini patut diapresiasi sebagai bentuk kepemimpinan responsif, terutama di tengah tantangan geografis dan historis Subulussalam sebagai kota muda di Aceh. Namun, keberhasilan aduan ini bergantung pada respons DPR RI dan Kementerian ATR/BPN. Jika tidak ditindaklanjuti, hal ini berpotensi memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara, sebagaimana tercermin dalam berbagai studi kasus agraria di Indonesia. Akademia News akan terus memantau perkembangan ini, mengingat implikasinya terhadap keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan di daerah perbatasan.
Pewarta : Jaulim Saran
