
RI News Portal. Washington, 4 Oktober 2025 – Pemerintahan Presiden Donald Trump mulai menyoroti isu penampungan pencari suaka dan imigran di Amerika Serikat (AS) usai penutupan pemerintah atau government shutdown yang dimulai pada Kamis pekan ini. Tiga sumber dekat dengan Gedung Putih mengungkapkan kepada wartawan bahwa Trump bersiap menetapkan batas penerimaan pengungsi hanya 7.500 orang selama masa shutdown ini, angka yang berpotensi mencetak rekor terendah dalam sejarah program resettlement AS. Kebijakan ini secara khusus memprioritaskan kelompok minoritas Afrikaner, keturunan Belanda kulit putih di Afrika Selatan, di tengah kritik luas atas diskriminasi rasial yang diduga dialami mereka.
Shutdown pemerintah federal, yang dipicu oleh perselisihan anggaran antara Partai Republik dan Demokrat, telah mengganggu operasi layanan publik esensial, termasuk potensi penundaan pemrosesan imigrasi. Trump, yang kembali menjabat sebagai presiden sejak Januari 2025, langsung membekukan penerimaan pengungsi secara keseluruhan setelah pelantikannya, dengan alasan bahwa program tersebut hanya boleh dilanjutkan jika selaras dengan kepentingan nasional AS. Beberapa minggu kemudian, ia mengeluarkan perintah eksekutif yang secara eksplisit memprioritaskan Afrikaner, mengklaim kelompok minoritas kulit putih ini mengalami diskriminasi rasial dan kekerasan di Afrika Selatan yang mayoritas penduduknya berkulit hitam. Klaim tersebut mencakup tuduhan penyitaan properti tanpa kompensasi melalui undang-undang reformasi tanah di Afrika Selatan, serta isu affirmative action yang dianggap merugikan mereka.

Sebagai bagian dari kebijakan imigrasi keras yang menjadi ciri khas masa jabatan pertamanya (2017-2021), Trump sebelumnya telah memangkas kuota pengungsi secara signifikan, mencapai titik terendah 15.000 orang pada akhir masa baktinya. Kini, di tengah shutdown yang bisa berlangsung hingga akhir November jika tidak ada kesepakatan, proposal batas 7.500 orang ini dilihat sebagai kelanjutan strategi tersebut, dengan sebagian besar slot dialokasikan untuk Afrikaner. Sumber-sumber tersebut menekankan bahwa prioritas ini bertujuan melindungi kelompok yang Trump sebut sebagai korban “diskriminasi rasial yang disponsori pemerintah,” meskipun pemerintah Afrika Selatan keras membantah tuduhan itu, menyatakan tidak ada bukti genosida atau penganiayaan sistematis terhadap warga kulit putih.
Kebijakan ini menuai kontroversi akademis dan internasional. Para pakar imigrasi menyoroti kontradiksi: sementara pengungsi dari wilayah konflik seperti Kongo, Sudan, atau Rohingya diblokir sepenuhnya, proses untuk Afrikaner dipercepat secara signifikan, dengan kelompok pertama tiba di AS sejak Mei 2025. Analis politik dari lembaga think tank seperti Council on Foreign Relations menyebut langkah ini sebagai “pemilihan rasial terselubung,” yang berpotensi merusak kredibilitas AS sebagai pemimpin hak asasi manusia global. Selain itu, shutdown ini bisa memperburuk backlog kasus imigrasi, dengan jutaan kasus tertunda di pengadilan imigrasi, sementara operasi penegakan seperti deportasi oleh ICE tetap berlanjut sebagai layanan esensial.
Baca juga : Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia Akibat Cedera Bahu yang Memburuk
Trump membela kebijakannya dengan menyatakan bahwa Afrikaner memenuhi definisi pengungsi klasik akibat “kekerasan berbasis ras,” meskipun data polisi Afrika Selatan tidak menunjukkan kerentanan lebih tinggi bagi warga kulit putih dibandingkan kelompok lain. Kritik dari kelompok hak pengungsi seperti Episcopal Church bahkan menyebabkan penolakan kerjasama dalam resettlement. Sementara itu, shutdown ini juga memicu perdebatan lebih luas tentang akses layanan kesehatan bagi imigran legal, dengan Demokrat menuduh Trump menggunakan krisis untuk membatasi manfaat bagi kelompok rentan.
Hingga kini, hanya sedikit Afrikaner yang memanfaatkan program ini—kurang dari 100 orang sejak Februari—meskipun lebih dari 67.000 menyatakan minat awal. Para pengamat memperingatkan bahwa batas rendah ini, jika terealisasi, tidak hanya akan memicu tuntutan hukum dari organisasi hak asasi, tapi juga memperlemah aliansi diplomatik AS dengan Afrika Selatan, termasuk pemotongan bantuan federal yang telah dilakukan Trump sejak awal tahun.
Pemerintahan Trump menegaskan bahwa kebijakan ini murni berdasarkan “kepentingan keamanan nasional,” tapi para kritikus melihatnya sebagai bagian dari narasi anti-imigrasi yang selektif. Dengan shutdown yang berpotensi meluas, masa depan program pengungsi AS semakin tidak pasti, meninggalkan ribuan pencari suaka di seluruh dunia dalam ketidakpastian.
Pewarta : Setiawan Wibisono S.TH
