
RI News Portal. Tabanan, Bali – 25 September 2025 – Di tengah dinamika pembangunan berkelanjutan yang semakin menekankan pada sinergi antara warisan lokal dan inovasi kreatif, Kabupaten Tabanan tengah merancang inisiatif ambisius bernama Tridatu Gastronomi Tabanan. Program ini, yang masih dalam fase perencanaan oleh Tim Kota Kreatif setempat, direncanakan untuk diluncurkan pada awal 2025. Tujuannya tak sekadar mempromosikan tiga ikon produk daerah—kopi Pupuan, beras merah organik, dan cokelat premium—melainkan juga membangun ekosistem yang menyatukan pertanian, budaya, dan pariwisata sebagai pilar utama pembangunan regional.
Program Tridatu Gastronomi Tabanan lahir dari pemahaman mendalam akan potensi alam Tabanan, yang dikenal sebagai “jantung pertanian Bali”. Nama “Tridatu” sendiri terinspirasi dari filosofi Hindu Bali yang melambangkan tiga kekuatan suci (Trimurti), mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas. Dalam konteks ini, tiga komoditas dipilih bukan hanya karena nilai ekonominya, tetapi juga sebagai representasi identitas kultural yang telah teruji waktu. Ini sejalan dengan prinsip UNESCO Creative Cities Network, di mana kota-kota di seluruh dunia diakui atas kontribusi kreatif mereka dalam bidang gastronomi untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Mari kita telusuri lebih dalam ketiga ikon tersebut. Pertama, kopi Pupuan, yang berasal dari pegunungan Batukaru di Kecamatan Pupuan, Tabanan. Kopi robusta ini dikenal dengan aroma khas dan rasa yang kuat, hasil dari tanah vulkanik subur serta praktik pertanian tradisional yang telah berlangsung selama berabad-abad. Sejak abad ke-14, wilayah ini telah menjadi pusat produksi kopi di Bali, dengan varietas arabika dan robusta yang diekspor ke pasar internasional. Kopi Pupuan bukan sekadar minuman; ia adalah cerita tentang ketahanan petani lokal dalam menghadapi perubahan iklim, di mana program Tridatu diharapkan dapat memperkuat rantai pasok melalui sertifikasi organik dan pemasaran digital.

Kedua, beras merah organik Tabanan, yang berakar pada sistem irigasi subak—warisan budaya dunia UNESCO sejak 2012. Dipanen dari lereng Gunung Batukaru, beras ini menonjol karena kandungan nutrisinya yang tinggi, termasuk antioksidan dan serat yang mendukung kesehatan. Di Desa Jatiluwih, misalnya, luas lahan organik mencapai ratusan hektare, dengan produksi yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga mempertahankan ritual agraris Bali. Dalam perspektif akademis, beras merah ini merepresentasikan model agroekologi yang integratif, di mana pertanian bukan hanya produksi makanan, melainkan juga pelestarian biodiversitas dan adaptasi terhadap isu global seperti ketahanan pangan.
Ketiga, cokelat premium Tabanan, yang berasal dari biji kakao berkualitas tinggi di wilayah seperti Marga dan Penebel. Desa Coklat Bali, sebagai salah satu pusat agrowisata, telah memproduksi cokelat organik yang diekspor ke Eropa dan Asia, dengan fokus pada fermentasi alami tanpa aditif buatan. Cokelat ini tidak hanya menawarkan rasa autentik Bali—campuran antara manis alami dan nuansa tanah vulkanik—tetapi juga mendukung ekonomi petani kecil melalui koperasi. Analisis sosiologis menunjukkan bahwa pengembangan komoditas ini dapat mengurangi ketergantungan pada pariwisata massal, beralih ke model ekoturisme yang lebih inklusif.
Baca juga : Polres Wonogiri Sukses Kawal Program Makan Bergizi Gratis di Ngadirojo
Bupati Tabanan, Komang Gede Sanjaya, menyatakan dukungan penuh terhadap inisiatif ini dalam sebuah pernyataan resmi. “Saya sangat mendukung Tridatu Gastronomi Tabanan. Kopi, beras merah, dan cokelat adalah kebanggaan kita, hasil dari tanah subur dan kerja keras petani Tabanan. Melalui program ini, kita ingin memperkuat ekonomi kerakyatan sekaligus memperkenalkan Tabanan ke dunia sebagai kota kreatif di bidang gastronomi,” tegasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi komitmen pemerintah daerah untuk menjadikan program ini sebagai katalisator perubahan sosial-ekonomi.
Secara lebih luas, Tridatu Gastronomi Tabanan menargetkan predikat Kota Kreatif UNESCO pada 2029, bergabung dengan jaringan global yang mencakup kota-kota seperti Chengdu (Tiongkok) atau Östersund (Swedia) di bidang gastronomi. Namun, seperti yang ditegaskan oleh pemerintah setempat, ambisi ini bukan akhir tujuan. Program ini dirancang sebagai strategi jangka panjang, dengan fokus pada keberlanjutan: dari festival gastronomi tahunan yang mengintegrasikan seni tradisional Bali, hingga wisata edukasi pertanian yang melibatkan komunitas lokal. Penguatan UMKM juga menjadi prioritas, di mana petani dan pengrajin diharapkan mendapat akses lebih baik ke pasar digital dan pelatihan inovasi produk.
Dari sudut pandang akademis, inisiatif ini dapat dilihat sebagai respons terhadap tantangan globalisasi, di mana daerah pedesaan seperti Tabanan berupaya mempertahankan autentisitas budaya sambil memanfaatkan peluang ekonomi. Berbeda dengan pendekatan pariwisata konvensional di Bali yang sering dikritik karena overdevelopment, Tridatu menekankan model “gastrodiplomasi”—menggunakan kuliner sebagai alat diplomasi budaya untuk membangun citra positif di tingkat internasional. Hal ini selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs) PBB, khususnya tujuan 8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi) dan 11 (kota dan komunitas berkelanjutan).
Dengan peluncuran pada 2025, Tabanan diharapkan menjadi model bagi daerah lain di Indonesia dalam mengintegrasikan gastronomi sebagai pendorong kemajuan. Program ini tidak hanya akan memperkokoh posisi Tabanan sebagai pusat kuliner Bali, tetapi juga mengangkat nama daerah ini di panggung global, membuktikan bahwa kekayaan lokal dapat menjadi aset universal. Namun, keberhasilan akan bergantung pada kolaborasi lintas sektor, termasuk partisipasi aktif masyarakat untuk memastikan manfaat merata dan lingkungan terjaga.
Pewarta : Jhon Sinaga
