
RI News Portal. Jakarta 28 September 2025 – Di tengah dinamika ekonomi global yang semakin kompetitif, September 2025 menandai pergeseran paradigmatik dalam pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN) Indonesia. Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang BUMN di Komisi VI DPR RI telah mencapai konsensus untuk menghapus nomenklatur Kementerian BUMN, menggantikannya dengan Badan Pengaturan BUMN (BPBUMN). Keputusan ini, yang disepakati dalam rapat tingkat I pada 26 September, bukan sekadar perubahan administratif, melainkan upaya rekonstruksi institusional untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN di panggung internasional.
Revisi undang-undang ini, yang mengubah 84 pasal dari UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, mencakup spektrum luas mulai dari restrukturisasi organisasi hingga penguatan mekanisme pengawasan. Setelah disahkan di rapat paripurna DPR, BPBUMN akan bertanggung jawab atas regulasi domestik, sementara Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara tetap menangani aspek investasi global. Pendekatan ini mengadopsi model “dual engine system”, di mana BPBUMN berfokus pada pengaturan internal dan Danantara pada ekspansi eksternal, menciptakan sinergi yang diharapkan mampu mengoptimalkan aset negara bernilai ribuan triliun rupiah.
Dari perspektif akademis, perubahan ini dapat dilihat sebagai aplikasi teori good corporate governance (GCG) dalam konteks negara berkembang. Pasal-pasal baru menekankan pengelolaan dividen saham seri A dwiwarna oleh BPBUMN dengan persetujuan presiden, larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara di direksi dan komisaris—sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi—serta peran sentral Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit keuangan BUMN. Selain itu, penegasan kesetaraan gender di level manajerial mengintegrasikan dimensi sosial, memastikan representasi perempuan yang setara, yang secara empiris telah terbukti meningkatkan inovasi dan pengambilan keputusan di perusahaan.

Aspek perpajakan dan penguasaan aset fiskal juga diperkuat, dengan mekanisme peralihan kelembagaan yang dirancang untuk menghindari kekosongan regulasi. Analisis ini menggarisbawahi bahwa revisi bukan hanya respons terhadap kritik publik atas tumpang tindih kewenangan, tetapi juga strategi adaptif terhadap disrupsi global seperti digitalisasi dan transisi energi. Sejarah BUMN, yang telah menjadi pilar APBN melalui sektor energi, telekomunikasi, perbankan, dan transportasi, menunjukkan kontribusi signifikan—seperti dividen Rp85,5 triliun pada 2024—namun juga tantangan struktural seperti inefisiensi integrasi holding.
Wakil Ketua Komisi VI DPR, Nurdin Halid, menilai langkah ini sebagai “momentum korektif” untuk membuat BUMN lebih ramping dan kompetitif, sambil tetap berpegang pada Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan penguasaan negara atas cabang produksi penting. “Kontrol negara adalah harga mati,” tegasnya, menegaskan bahwa transformasi ini tidak mengurangi kedaulatan negara atas aset strategis.
Pengamat seperti Toto Pranoto, Managing Director Lembaga Manajemen FEB UI, optimistis bahwa struktur baru akan mengurangi intervensi politik dan memperkuat GCG, sehingga meminimalkan konflik kepentingan. Namun, Hendri Satrio, analis komunikasi politik, memperingatkan potensi risiko birokrasi baru jika tidak diikuti reformasi manajerial dan akuntabilitas. “Pembenahan infrastruktur dan kapasitas sumber daya manusia harus menjadi prioritas, agar revisi tidak sekadar administratif,” katanya.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menambahkan bahwa penghapusan kementerian merupakan “modernisasi tata kelola”, selaras dengan agenda reformasi birokrasi nasional. Dengan integrasi BPK secara limitatif, transparansi diharapkan meningkat, memungkinkan BUMN tidak hanya menyumbang dividen tetapi juga menjadi representasi Indonesia di arena ekonomi dunia.
Dalam konteks lebih luas, transformasi ini mencerminkan evolusi institusional di negara-negara berkembang, di mana peralihan dari model kementerian ke badan otonom sering kali berhasil mengurangi beban birokrasi, seperti kasus reformasi SOE di Singapura atau Malaysia. Namun, keberhasilan bergantung pada komunikasi publik yang efektif dan aturan turunan yang jelas. Jika dikelola dengan baik, BPBUMN bisa menjadi katalisator bagi BUMN yang lebih lincah dan berorientasi rakyat; sebaliknya, kegagalan berisiko meninggalkan warisan ketidakefektifan. Saat Indonesia menghadapi gejolak global, momen ini menjadi ujian bagi komitmen kolektif terhadap governance yang berkelanjutan.
Pewarta : Albertus Parikesit
