
RI News Portal. Banda Aceh, 28 September 2025 – Di tengah tuntutan ekonomi global yang semakin kompetitif, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Indonesia tengah merintis paradigma baru dalam hubungan industrial. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menekankan bahwa hubungan antara manajemen dan pekerja tidak boleh sekadar harmonis, melainkan harus transformatif—sebuah pendekatan yang menjadikan visi bersama sebagai katalisator utama peningkatan produktivitas perusahaan. Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap dinamika ketenagakerjaan pasca-pandemi, di mana kolaborasi lintas pihak menjadi kunci ketahanan ekonomi nasional.
Dalam pidato penutupan acara Dialog dan Edukasi Kesetaraan Syarat Kerja serta Penguatan Teknik Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Banda Aceh pada Kamis malam (25/9/2025), Yassierli mengilustrasikan konsep ini dengan analogi mekanis yang sederhana namun mendalam. “Selama ini perusahaan hanya bergerak dengan satu roda gigi. Sekarang bergerak dengan dua roda gigi, yaitu manajemen dan pekerja atau buruh,” ujarnya. Analogi ini menggambarkan pergeseran dari model hierarkis tradisional menuju sinergi dinamis, di mana kedua belah pihak—manajemen sebagai pengambil keputusan strategis dan serikat pekerja sebagai penjaga hak-hak buruh—bergerak selaras untuk mencapai kemajuan bersama. Menurutnya, visi dan strategi bersama bukan hanya alat harmonisasi, tapi fondasi untuk gerakan produktivitas yang berkelanjutan, di mana peran masing-masing saling melengkapi tanpa saling meniadakan.

Pendekatan transformatif ini, kata Yassierli, melampaui sekadar pencegahan konflik. Ia menyoroti bagaimana hubungan industrial yang stagnan sering kali menghambat inovasi, sementara model transformatif mendorong inisiatif bersama yang berorientasi pada pertumbuhan. “Manajemen dan serikat pekerja memiliki peran masing-masing yang saling melengkapi, sehingga terbentuk praktik bersama berorientasi pada kemajuan perusahaan,” tambahnya. Dalam konteks akademis, konsep ini selaras dengan teori manajemen sumber daya manusia (HRM) kontemporer, seperti model “high-performance work systems” yang dikembangkan oleh para ahli seperti Jeffrey Pfeffer, di mana keterlibatan karyawan secara aktif meningkatkan efisiensi operasional hingga 20-30 persen, berdasarkan studi global.
Melengkapi pernyataan menteri, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menjelaskan dua pilar utama inisiatif ini: kesetaraan syarat kerja dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. “Kesetaraan di tempat kerja akan menciptakan keadilan, penyelesaian perselisihan yang efektif akan menghadirkan kepastian,” katanya. Kedua aspek ini, menurut Indah, saling terkait dan menjadi pondasi hubungan industrial yang harmonis, dinamis, serta berkeadilan—sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang telah direvisi untuk menyesuaikan dengan era digital dan inklusif.
Fokus khusus diberikan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang dipandang bukan hanya sebagai entitas bisnis, tapi juga sebagai agen pembangunan dan teladan praktik ketenagakerjaan. Indah menekankan peran strategis mereka: “BUMN/BUMD sebagai agent of development dan role model dalam praktik baik ketenagakerjaan.” Data dari Kementerian BUMN hingga akhir 2024 menunjukkan kontribusi sektor ini terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai ratusan triliun rupiah, sebuah pencapaian yang bergantung pada produktivitas tenaga kerja. “Produktivitas tersebut dapat terwujud apabila tercipta hubungan kerja yang inklusif, setara, bebas diskriminasi, serta adanya mekanisme penyelesaian perselisihan yang efektif,” lanjutnya.
Inisiatif Kemnaker ini datang pada saat tepat, mengingat laporan Bank Dunia tahun 2024 yang mencatat produktivitas tenaga kerja Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya, dengan pertumbuhan hanya sekitar 3 persen per tahun. Dengan mendorong hubungan transformatif, pemerintah berharap dapat mengatasi hambatan seperti diskriminasi gender, ketidaksetaraan upah, dan konflik buruh yang sering menghambat kemajuan. Acara di Banda Aceh, yang melibatkan perwakilan BUMN/BUMD, serikat pekerja, dan pakar ketenagakerjaan, menjadi platform edukasi untuk menerapkan prinsip-prinsip ini secara praktis.
Secara keseluruhan, pergeseran ke hubungan industrial transformatif bukan hanya kebijakan administratif, tapi visi jangka panjang untuk membangun ekosistem kerja yang resilient. Bagi para pemangku kepentingan, ini adalah panggilan untuk berkolaborasi, di mana keadilan dan kepastian bukan akhir, melainkan sarana menuju produktivitas yang lebih tinggi. Sebagai media online independen yang fokus pada analisis ketenagakerjaan akademis, kami akan terus memantau implementasi inisiatif ini dan dampaknya terhadap perekonomian nasional.
Pewarta : Jaulim Saran
