
RI News Portal. Tapanuli Selatan, 9 Agustus 2025 — Kepolisian Resor Tapanuli Selatan (Polres Tapsel) menetapkan MN (64), Ketua Yayasan salah satu pondok pesantren di Kecamatan Batang Toru, sebagai tersangka dalam kasus pencabulan dan persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang merupakan santriwatinya sendiri. Penetapan ini dilakukan setelah proses penyelidikan intensif menyusul laporan resmi yang diterima pada akhir Juli 2025.
- Menurut keterangan Kapolres Tapsel AKBP Yon Edi Winara, tindakan asusila tersebut telah berlangsung sejak tahun 2021, saat korban yang disamarkan dengan nama “Bunga” masih berusia 14 tahun.
- Laporan polisi baru diterima pada 31 Juli 2025, dengan nomor LP/B/232/VII/2025/SPKT/Polres Tapanuli Selatan/Polda Sumatera Utara.
- MN diduga melakukan pencabulan dan persetubuhan sebanyak lima kali, dengan modus membujuk korban dan memberikan sejumlah uang sebagai imbalan.
“Pelaku sudah melakukan aksi bejatnya sejak tahun 2021 kepada korban. Namun kita menerima laporan polisi pada Juli 2025,” ujar AKBP Yon Edi Winara dalam konferensi pers di Aula Mako Polres Tapsel, Jumat (8/8).

Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan institusional terhadap lembaga pendidikan berbasis keagamaan, khususnya dalam hal perlindungan anak. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, tindakan MN dapat dikategorikan sebagai kejahatan seksual terhadap anak, yang ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar.
Lebih jauh, posisi MN sebagai ketua yayasan menambah kompleksitas kasus ini. Ia tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga etika keagamaan dan tanggung jawab moral sebagai pemimpin lembaga pendidikan. Dalam konteks ini, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen dan pengawasan internal pesantren, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan peserta didik.
Korban yang masih di bawah umur berpotensi mengalami trauma jangka panjang, baik secara psikologis maupun sosial. Dalam banyak kasus serupa, korban sering mengalami kesulitan dalam mengakses layanan pemulihan karena stigma dan tekanan lingkungan. Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum dan lembaga sosial untuk memastikan adanya pendampingan psikologis dan perlindungan hukum yang berkelanjutan.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah, Kementerian Agama, dan lembaga pendidikan keagamaan untuk memperkuat sistem perlindungan anak. Transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme pelaporan internal harus menjadi bagian integral dari tata kelola pesantren dan yayasan pendidikan.
Pewarta ; Indra Saputra
