
RI News Portal. Kabupaten Mandailing Natal – Kasus pembunuhan remaja putri bernama Diva Febriani, siswi SMAN 1 Natal dan calon anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) di Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, menggemparkan publik. Penemuan jasad korban tidak hanya mengungkap tindakan kriminal yang brutal, namun juga memperlihatkan modus manipulatif pelaku, Yunus, yang sempat berpura-pura ikut dalam proses pencarian korban. Peristiwa ini menggugah urgensi penegakan hukum pidana, perlindungan terhadap anak dan perempuan, serta penguatan pendidikan karakter di lingkungan sosial yang rapuh.
Diva Febriani (15), siswa kelas X SMAN 1 Natal yang dikenal aktif dan berdedikasi dalam kegiatan paskibra, dilaporkan hilang pada Selasa, 29 Juli 2025, setelah mengikuti latihan Paskibra di Lapangan Merdeka Natal. Ketidakhadirannya menimbulkan kekhawatiran keluarga dan masyarakat. Pencarian pun dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk oleh Yunus (21), yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan.

Jasad korban ditemukan pada Kamis, 31 Juli 2025, dalam kondisi mengenaskan. Penangkapan Yunus di Desa Bundo Kase, Kecamatan Lingga Bayu, Kabupaten Mandailing Natal, pada awal Agustus menjadi titik terang atas misteri hilangnya Diva.
Dalam konferensi pers yang digelar di Aula Rupatama Tantya Sudhirajati Mapolres Madina, Senin (4/8/2025), Yunus mengaku merencanakan kejahatan dengan niat awal merampok. Ia memanipulasi korban agar mengantarkannya ke bengkel dengan alasan sepeda motor miliknya rusak. Setelah tiba di lokasi yang sepi, ia mencekik korban hingga pingsan dan kemudian mengambil sepeda motor, telepon genggam, serta uang tunai milik Diva.
Yang mengejutkan, Yunus tidak hanya membunuh korban demi alasan ekonomi, tetapi juga melakukan tindak asusila terhadap jasad korban. Aksi tersebut mengindikasikan adanya deviasi perilaku seksual serius, termasuk necrophilia, yang merupakan gangguan psikoseksual berat.
Untuk menutupi perbuatannya, Yunus ikut serta dalam kegiatan pencarian korban bersama masyarakat. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan terhadap dirinya. Pengakuan ini memperkuat hipotesis bahwa pelaku tidak hanya melakukan kejahatan, tetapi juga mencoba merekayasa opini publik.
Dari aspek hukum pidana, tindakan Yunus dapat dijerat dengan berbagai pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), antara lain:
- Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup.
- Pasal 365 ayat (4) KUHP tentang pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian.
- Pasal 281 atau 285 KUHP jo. Pasal 290 bila dibuktikan adanya tindak asusila terhadap korban, termasuk pasca-meninggal dunia.
- Pasal 80 ayat (3) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa pelaku kekerasan terhadap anak hingga mengakibatkan kematian dapat dikenai pidana berat.
Dari segi etik dan sosial, kasus ini menunjukkan terjadinya erosi nilai-nilai kemanusiaan, serta lemahnya sistem deteksi dini terhadap individu dengan kecenderungan kekerasan. Lebih jauh lagi, tindakan berpura-pura mencari korban mencerminkan bentuk manipulasi sosial yang mengancam integritas komunitas lokal.
Tragedi ini bukan hanya menyangkut aspek hukum, tetapi juga persoalan sosial dan psikologis yang kompleks. Ada beberapa refleksi dan rekomendasi kebijakan yang dapat diangkat dari kasus ini:
- Penguatan sistem perlindungan anak di tingkat desa/kelurahan, melalui kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan tokoh masyarakat.
- Pendidikan karakter dan literasi hukum di sekolah, agar siswa mampu memahami hak-haknya dan waspada terhadap modus kejahatan.
- Pelibatan psikolog atau konselor dalam penyelidikan, terutama jika terdapat indikasi gangguan perilaku seksual atau kecenderungan sadistik pada pelaku.
- Peningkatan pengawasan sosial terhadap remaja dan pemuda usia produktif, khususnya mereka yang tidak memiliki aktivitas ekonomi yang jelas.
- Peninjauan ulang sistem rehabilitasi sosial bagi pelaku kekerasan ekstrem, dengan pendekatan psikokriminologis.
Kematian tragis Diva Febriani mengungkap luka sosial yang mendalam. Ia adalah simbol dari mimpi dan harapan generasi muda yang terenggut akibat kejahatan brutal. Kepura-puraan pelaku yang sempat ikut mencari korban menunjukkan bahwa kejahatan hari ini tidak lagi bermuka garang, melainkan bisa tersembunyi di balik senyum dan empati palsu. Penegakan hukum tegas, kesadaran sosial kolektif, dan perlindungan terhadap anak harus menjadi prioritas demi mencegah tragedi serupa terjadi kembali.
Pewarta : Indra Saputra
