
RI News Portal. Wonogiri, 18 Agustus 2025 – Di tengah hiruk-pikuk perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-80 yang biasanya didominasi oleh acara skala nasional atau kabupaten, sebuah inisiatif lokal di Dusun Bolakrejo, Desa Gunungsari, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, menonjol sebagai contoh nyata bagaimana semangat kemerdekaan dapat dihayati secara mandiri di tingkat dusun. Upacara pengibaran bendera Merah Putih yang digelar pada Minggu (17/8/2025) ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan tradisi yang telah berlangsung selama tujuh tahun berturut-turut, mencerminkan ketahanan budaya dan partisipasi masyarakat desa dalam memperkuat identitas nasional.
Upacara tersebut berlangsung di halaman gudang penjemuran hasil bumi yang kosong, sebuah lokasi sederhana yang melambangkan keterikatan masyarakat dusun dengan kehidupan agraris mereka. Dipimpin langsung oleh Kepala Dusun (Kadus) Suyadi, acara ini diikuti oleh perangkat dusun seperti RT/RW, anggota Karang Taruna, serta warga setempat. Pengibaran bendera dilakukan oleh Karang Taruna Sapta Manunggal, yang menjadi simbol persatuan generasi muda dalam menjaga warisan perjuangan. Usai upacara, kegiatan dilanjutkan dengan jalan santai mengelilingi kampung dan berbagai lomba, yang telah menjadi agenda tetap setiap tahun untuk mempererat ikatan sosial antarwarga.

Dalam amanatnya sebagai inspektur upacara, Suyadi menekankan pentingnya menjaga “semangat perjuangan, melestarikan jiwa kepahlawanan, menjunjung tinggi patriotisme, serta berjiwa besar demi keamanan bangsa dan negara.” Pesan ini bukan hanya retorika, tetapi disesuaikan dengan standar operasional prosedur (SOP) dari Pemerintah Kabupaten Wonogiri melalui Kecamatan Jatisrono, yang menjamin keselarasan antara inisiatif lokal dan kebijakan daerah. Harwanto, Ketua Karang Taruna Dusun Bolakrejo, melalui pernyataan yang disampaikan Suyadi, mengonfirmasi bahwa upacara mandiri ini telah dilaksanakan tujuh kali sejak 2019, termasuk tahun ini. “Ini adalah upacara khusus satu dusun, dengan amanat yang dikutip langsung dari pemerintah daerah,” ujarnya, menambahkan bahwa kegiatan ini tidak hanya memperingati kemerdekaan nasional tetapi juga memperkuat rasa memiliki terhadap dusun.
Tradisi ini dapat dipandang sebagai bentuk nasionalisme grassroots yang berkembang di wilayah pedesaan Jawa Tengah, di mana masyarakat desa seperti Gunungsari—yang memiliki populasi sekitar 20.000 jiwa dengan mayoritas mata pencaharian sebagai perantau dan buruh tani—mengintegrasikan nilai-nilai kemerdekaan ke dalam kehidupan sehari-hari. Desa Gunungsari, yang terdiri dari empat dusun termasuk Bolakrejo (juga dikenal sebagai Bulakrejo), Kenteng, Ngrandu, dan Sabuk, memiliki konteks sosial yang kaya akan kegiatan komunal, seperti program kesehatan jiwa (KESWA) yang baru-baru ini diinisiasi untuk meminimalisir kasus orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), serta tradisi keagamaan yang beragam, termasuk mujahadah jamaah Al-Amin di desa tetangga. Dalam perspektif sosiologi, upacara mandiri seperti ini berfungsi sebagai mekanisme kohesi sosial, di mana ritual nasional diadaptasi untuk mengatasi tantangan lokal seperti migrasi penduduk dan ketergantungan ekonomi pada sektor pertanian.
Baca juga : Insiden Tali Bendera Warnai Upacara HUT RI ke-80 di Stadion H.M. Nurdin Padangsidimpuan
Pada aspek seremonial — seperti defile atau karnaval di tingkat kabupaten yang tahun ini diganti dengan wayangan serentak di 25 kecamatan Wonogiri untuk alasan efisiensi—analisis ini menyoroti dimensi historis dan struktural. Sejak pandemi COVID-19 pada 2020, ketika perayaan HUT RI di Wonogiri dibatasi pada upacara sederhana, inisiatif dusun seperti Bolakrejo telah menjadi model ketahanan komunitas. Tradisi tujuh tahun ini tidak hanya mempertahankan semangat kemerdekaan, tetapi juga mendorong pembangunan berkelanjutan, seperti melalui turnamen olahraga antardesa yang memeriahkan HUT RI di Jatisrono, yang turut menggerakkan ekonomi lokal.
Pada akhirnya, upacara di Dusun Bolakrejo mengilustrasikan bagaimana peringatan kemerdekaan dapat menjadi katalisator perubahan sosial di tingkat mikro. Di era di mana nasionalisme sering kali diinterpretasikan melalui lensa urban, praktik ini mengingatkan kita pada akar perjuangan yang tertanam dalam masyarakat pedesaan, menuju pembangunan yang inklusif dan berbasis komunitas. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi dampak jangka panjang terhadap partisipasi sipil di wilayah seperti Wonogiri.
Pewarta : Nandar Suyadi
