
RI News Portal. Subulussalam, 14 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang sering kali menggerus nilai-nilai luhur, Kota Subulussalam tetap berdiri tegar sebagai benteng penegakan Syariat Islam. Baru-baru ini, Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) setempat kembali menunjukkan ketegasannya dengan memusnahkan lebih dari 500 liter tuak hasil razia di Desa Penanggalan, Kecamatan Penanggalan. Aksi ini bukan sekadar rutinitas penindakan, melainkan simbol perjuangan berkelanjutan untuk membersihkan masyarakat dari racun kemaksiatan yang merusak fondasi sosial dan spiritual.
Razia yang digelar pada akhir pekan lalu merupakan bagian dari operasi rutin “Pembersihan Pekat” yang semakin gencar dilakukan oleh aparat penegak Qanun dan Peraturan Daerah (Perda) di Aceh. Tim gabungan Satpol PP dan WH menyisir berbagai sudut Desa Penanggalan, sebuah kawasan pedesaan yang dikenal dengan potensi ekonomi pertaniannya, namun kini menjadi sorotan karena maraknya peredaran minuman tradisional memabukkan. Tuak, yang diolah dari sari nira kelapa atau aren, ditemukan tersembunyi di berbagai lokasi, termasuk gudang-gudang sementara dan kendaraan pengangkut. Penangkapan barang bukti ini tidak hanya melibatkan penyitaan fisik, tetapi juga penelusuran jaringan distribusi yang diduga melintasi batas kecamatan.

Pemusnahan dilakukan secara simbolis di dekat Kantor Satpol PP dan WH Kota Subulussalam. Ratusan galon tuak dituangkan ke parit pembuangan, disaksikan oleh sejumlah tokoh masyarakat dan ulama setempat. Proses ini sengaja dibuat terbuka untuk memberikan efek jera, sekaligus mengingatkan kolektif bahwa tuak bukanlah sekadar minuman lokal, melainkan zat yang dilarang keras dalam ajaran Islam. “Tuak adalah pintu gerbang menuju kehancuran jiwa dan masyarakat. Ia memabukkan, merusak akal, dan memicu konflik sosial yang tak terhitung jumlahnya,” ujar Abdul Malik, Kepala Satpol PP dan WH Kota Subulussalam, saat memimpin acara pemusnahan. Menurutnya, aksi ini selaras dengan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2002 tentang Khamer dan Miras, yang secara tegas mengharamkan segala bentuk minuman memabukkan.
Dalam konteks yang lebih luas, razia ini mencerminkan komitmen Satpol PP dan WH untuk menjaga harmoni sosial di Kota Subulussalam, yang dikenal sebagai Bumi Syekh Hamzah Fansuri—seorang ulama sufi abad ke-16 yang meletakkan dasar tasawuf Islam Nusantara. Sebagaimana dicatat dalam studi etnografi tentang penegakan syariat di Aceh, upaya seperti ini tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif. Razia pekat akhir-akhir ini telah menargetkan berbagai “penyakit masyarakat,” mulai dari peredaran miras hingga lokasi hiburan malam yang melanggar norma. Data internal Satpol PP menunjukkan peningkatan 30 persen dalam jumlah operasi sejak awal 2025, dengan hasil tangkapan yang secara konsisten dimusnahkan untuk mencegah residu kemaksiatan.
Baca juga: Menanam Kebaikan: Kisah Aipda Mistono, Polisi yang Mengubah Tanah Kosong Menjadi Lahan Inspirasi
Abdul Malik menekankan bahwa peran Satpol PP dan WH bukanlah sekadar penegak hukum, melainkan penjaga amanah syariat. “Kami dituntut untuk proaktif, karena ketertiban masyarakat adalah pondasi utama bagi kesejahteraan rohani. Razia ini adalah bentuk ibadah kolektif, di mana setiap tetes tuak yang dimusnahkan adalah doa untuk generasi mendatang yang lebih murni,” katanya. Pendekatan ini didukung oleh kolaborasi dengan elemen masyarakat, termasuk pemasangan spanduk sosialisasi dan patroli preventif di lokasi rawan seperti warung-warung pinggir jalan.
Dampak aksi ini terasa di kalangan warga. Seorang tokoh adat Desa Penanggalan, yang enggan disebut namanya, menyambut baik inisiatif tersebut. “Tuak mungkin bagian dari tradisi lama, tapi di era syariat, kita harus bijak. Pemusnahan ini membuka mata kami akan bahaya laten yang mengancam anak muda,” ungkapnya. Para ulama setempat pun menambahkan dimensi teologis: dalam tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ma’idah ayat 90, khamer digambarkan sebagai “kotoran setan,” yang tidak hanya merusak individu tetapi juga merobek ikatan ukhuwah Islamiyah.
Ke depan, Satpol PP dan WH berjanji untuk memperluas cakupan razia, termasuk integrasi teknologi seperti drone pengawasan untuk mendeteksi peredaran ilegal. Dengan demikian, Kota Subulussalam bukan hanya kota yang aman secara fisik, tetapi juga suci secara spiritual—sebuah model bagi daerah lain di Aceh yang berupaya menyeimbangkan modernitas dengan warisan syariat. Di bawah naungan Qanun, harapan akan Subulussalam yang tertib, tentram, dan penuh berkah semakin terasa nyata, mengajak setiap warga untuk turut menjaga api kebersihan hati dari hembusan angin kemaksiatan.
Pewarta : Jaulim Saran
