
RI News Portal. Padangsidimpuan 8 September 2025 — Di tengah hiruk-pikuk pasar dan hembusan angin pegunungan Tapanuli Selatan, kedai kopi sederhana menjadi panggung diskusi tak resmi bagi warga. Di sini, isu dugaan keterlibatan Bupati Tapanuli Selatan, Gus Irawan Pasaribu, dalam penyalahgunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat masih menjabat sebagai anggota DPR RI di Komisi XI periode 2019-2024, terus menjadi bahan obrolan. Berbeda dari pemberitaan media konvensional yang sering kali berfokus pada fakta prosedural, laporan ini menyelami perspektif antropologis masyarakat lokal, menggabungkan narasi etnografis dengan analisis akademis tentang dinamika kepercayaan publik terhadap institusi anti-korupsi di Indonesia pasca-reformasi.
Pagi itu, di salah satu kedai kopi di sekitar kawasan Tabagsel—sebutan akrab untuk Tapanuli Bagian Selatan—sekelompok warga berkumpul sambil menyeruput kopi hitam panas. Seorang pria paruh baya, yang enggan disebut namanya, memulai pembicaraan dengan nada penasaran. “Sampai sekarang, kita masih bertanya-tanya soal isu dana CSR itu. Nama Gus Irawan muncul, tapi KPK kok diam saja? Apakah sudah dipetieskan atau dibiarkan begitu saja?” ceritanya, mengacu pada rumor yang beredar luas sejak Agustus 2025. Isu ini pertama kali mencuat ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua anggota Komisi XI DPR RI sebagai tersangka dalam dugaan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dana CSR BI-OJK, dengan kerugian negara mencapai puluhan miliar rupiah.

Menurut pengakuan salah satu tersangka, Satori (dari Partai Nasdem), dana CSR yang seharusnya dialokasikan untuk kegiatan sosial seperti penyuluhan keuangan masyarakat, justru mengalir ke sejumlah anggota Komisi XI, termasuk diduga ke Gus Irawan Pasaribu dari Fraksi Gerindra. Daftar 44 nama anggota yang diduga menerima dana tersebut beredar luas di media sosial dan pemberitaan, dengan nilai bervariasi mulai dari Rp25 juta hingga miliaran rupiah per orang. Gus Irawan, yang kini menjabat sebagai Bupati Tapanuli Selatan untuk periode 2024-2029, disebut-sebut menerima aliran dana saat masih aktif di parlemen, yang kemudian digunakan untuk kegiatan reses dan pembagian sembako beratribut bantuan sosial dari BI. Namun, hingga kini, KPK belum mengonfirmasi pemanggilan atau status hukum spesifik terhadapnya, meski lembaga anti-korupsi itu sedang mendalami dugaan aliran dana ke anggota lain.
Di kedai kopi yang sama, obrolan semakin memanas. Seorang warga lain menimpali, “Mungkin bisa diperbaiki, pak Gus itu orang partai besar.” Respons ini mencerminkan pandangan sinis sebagian masyarakat terhadap pengaruh politik dalam penegakan hukum. Namun, tak lama kemudian, seorang pria dengan nada serius membalas, “Jangan salah, di negara ini tidak ada orang kebal hukum, walau siapa pun, terkecuali Allah.” Kutipan ini bukan sekadar ungkapan emosional, melainkan menggambarkan polarisasi sosial di tingkat akar rumput: antara skeptisisme terhadap elit politik dan harapan idealis terhadap prinsip kesetaraan di depan hukum. Dari perspektif akademis, fenomena ini mirip dengan teori “hukum sebagai arena kontestasi” yang dikemukakan oleh sarjana hukum Indonesia seperti Todung Mulya Lubis, di mana persepsi masyarakat terhadap korupsi tidak hanya dipengaruhi oleh fakta hukum, tetapi juga oleh narasi sejarah pasca-Orde Baru di mana korupsi sering kali dilihat sebagai warisan elitisme.
Untuk meredakan suasana, seorang warga lain angkat bicara: “Udah-udah, gapapa kita pertengkarkan. Kita tunggu saja proses dari KPK sampai mana keterlibatan Gus Irawan. Kita kan hanya dengar sana dengar sini.” Pendapat ini menyoroti sikap pasif-observatif masyarakat pedesaan, yang sering kali bergantung pada informasi sekunder dari media atau gosip lokal. Sementara itu, aksi protes telah muncul di lapangan: beberapa kelompok masyarakat melakukan orasi di depan kantor bupati Tapanuli Selatan, menuntut transparansi atas isu ini. Pemberitaan dari berbagai media nasional telah menyoroti dugaan ini, tetapi respons resmi dari Gus Irawan maupun KPK masih minim, dengan KPK hanya menyatakan bahwa penyelidikan sedang berlangsung terhadap potensi keterlibatan lebih luas.
s melalui lensa sosiologi politik. Di daerah seperti Tapanuli Selatan, di mana ekonomi bergantung pada sektor pertanian dan pariwisata alam, isu korupsi dana CSR—yang seharusnya mendukung pembangunan sosial—dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan lokal. Studi kasus serupa, seperti korupsi dana desa di Sumatra Utara, menunjukkan bahwa ketidakpastian hukum sering kali memicu ketidakstabilan sosial, termasuk penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu atau program pemerintah. Dalam konteks nasional, KPK telah menetapkan Heri Gunawan (Gerindra) dan Satori sebagai tersangka utama, dengan bukti aliran dana untuk keperluan pribadi seperti pembelian properti dan kendaraan. Namun, lambatnya respons terhadap nama-nama lain, termasuk Gus Irawan, memunculkan pertanyaan tentang independensi lembaga anti-korupsi di era pemerintahan baru.
Sementara warga di kedai kopi melanjutkan hari mereka, isu ini tetap menggantung seperti kabut pagi di pegunungan. Apakah akan ada pemanggilan resmi dari KPK? Atau, seperti yang dikhawatirkan sebagian masyarakat, kasus ini akan “didiamkan begitu saja”? Hanya waktu dan komitmen institusional yang akan menjawab. Laporan ini, yang dikumpulkan melalui observasi langsung dan tinjauan sumber terbuka, bertujuan untuk memperkaya diskursus publik dengan sudut pandang yang lebih holistik, jauh dari sensasionalisme media arus utama.
Pewarta : Indra Saputra
