RI News Portal. Jakarta – Mantan Staf Khusus Presiden Republik Indonesia bidang penyandang disabilitas periode 2019–2024, Angkie Yudistia, menegaskan bahwa tanpa percepatan penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) tentang insentif dan konsesi ekonomi, amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas berisiko tetap menjadi dokumen normatif yang tidak membawa perubahan substansial bagi kehidupan jutaan warga negara penyandang disabilitas.
“PP insentif dan konsesi bukan sekadar pelengkap regulasi, melainkan instrumen strategis yang menentukan apakah penyandang disabilitas akan terus terpinggirkan dari arus utama perekonomian nasional atau justru menjadi bagian integral dari pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ungkap Angkie saat ditemui di Jakarta, Rabu (3/12).
Menurutnya, selama sembilan tahun sejak UU Disabilitas disahkan, ketimpangan akses ekonomi bagi penyandang disabilitas masih terdeteksi secara masif. Hambatan struktural seperti minimnya akomodasi wajar di tempat kerja, rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja difabel di sektor formal, serta keterbatasan modal usaha bagi wirausaha penyandang disabilitas, menjadi bukti bahwa keberpihakan negara masih berhenti pada tataran deklaratif.

“Insentif fiskal, keringanan perizinan, prioritas pengadaan barang/jasa pemerintah, dan konsesi khusus bagi perusahaan yang mempekerjakan atau memberdayakan penyandang disabilitas adalah beberapa contoh kebijakan afirmatif yang seharusnya sudah bisa dioperasionalkan melalui PP tersebut,” jelas Angkie.
Ia menekankan bahwa kehadiran PP ini tidak hanya berdampak pada individu penyandang disabilitas, tetapi juga menciptakan efek pengganda (multiplier effect) bagi sektor publik dan swasta. Perusahaan yang mendapatkan insentif karena menerapkan praktik inklusif akan termotivasi membangun infrastruktur, teknologi, dan budaya kerja yang ramah disabilitas—langkah yang pada akhirnya menguntungkan seluruh ekosistem ekonomi.
Angkie juga menggarisbawahi bahwa ketiadaan regulasi turunan yang memadai telah memperlebar jurang ketimpangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja penyandang disabilitas masih berada di bawah 50 persen, jauh tertinggal dibandingkan kelompok nondisabilitas. Kondisi ini, kata dia, bukan semata karena keterbatasan individu, melainkan karena absennya dukungan sistemik yang konkret.
Menjelang peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 3 Desember 2025, Angkie mengajak semua pemangku kepentingan—kementerian teknis, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga organisasi masyarakat sipil—untuk menjadikan momentum ini sebagai titik evaluasi kolektif. “HDI tahun ini bukan sekadar seremoni tahunan. Ini saatnya kita bertanya: sudah sejauh mana negara hadir secara nyata bagi 22,9 juta penyandang disabilitas di Indonesia?” tegasnya.
Ia menutup pernyataan dengan harapan bahwa percepatan PP insentif dan konsesi ekonomi dapat menjadi legacy kebijakan inklusif pemerintahan saat ini sekaligus fondasi kokoh bagi pemerintahan berikutnya. “Keberlanjutan kebijakan inklusi adalah cerminan kedewasaan bernegara. Indonesia yang berkeadilan hanya akan terwujud jika tidak ada lagi warganya yang tertinggal hanya karena perbedaan kemampuan fisik atau sensorik,” pungkas Angkie Yudistia.
Dengan semakin dekatnya akhir masa jabatan pemerintahan 2019–2024, sorotan publik kini tertuju pada komitmen nyata pemerintah dalam menyelesaikan regulasi turunan UU Disabilitas sebelum masa transisi kepemimpinan nasional dimulai.
Pewarta : Yudha Purnama

