
RI News Portal. Banyuwangi, 14 Oktober 2025 – Di bawah terik matahari Selat Bali yang tak kenal ampun, jerigen-jerigen usang berderet di dermaga Pelabuhan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. Suara gemericik solar mengalir dari selang pompa ke wadah-wadah itu menjadi irama harian bagi ratusan nelayan yang bergantung pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) setempat. Pada Selasa pagi ini, pekerja SPBN sibuk mengisi BBM jenis solar ke jerigen milik nelayan, sementara yang lain mengangkut wadah-wadah kosong menggunakan becak motor yang berderit di atas aspal panas. Ini bukan sekadar rutinitas; ini adalah denyut nadi ekonomi pesisir Muncar, di mana 920 kapal nelayan menghasilkan 14.700 ton ikan setiap tahunnya, menopang ribuan keluarga dari ancaman kemiskinan struktural.
Pelabuhan Muncar, yang terletak di persimpangan arus Laut Jawa dan Samudra Hindia, bukan hanya titik geografis strategis—ia adalah ekosistem ekonomi yang rapuh. Penyaluran solar bersubsidi melalui SPBN menjadi penopang utama aktivitas nelayan, memastikan kapal-kapal slerek dan purse seine bisa meluncur ke laut tanpa beban biaya bahan bakar yang melonjak. “Tanpa solar ini, kami seperti burung tanpa sayap,” ujar Jumali, nelayan berusia 45 tahun asal Desa Kedungrejo, yang baru saja mengisi 50 liter untuk perjalanan besok. Ia mengenang musim angin barat lalu, ketika tangkapan lemuru dan sarden merosot drastis, memaksa banyak rekan seprofesinya berlabuh lebih lama di darat. Hasil tangkapan tahunan yang mencapai 14.700 ton—mayoritas ikan pelagis seperti lemuru yang mendominasi ekspor tepung ikan—bergantung pada stabilitas pasokan ini untuk menjaga rantai pasok yang panjang, dari dermaga hingga pabrik pengolahan di Banyuwangi.

Namun, di balik hiruk-pikuk pengisian BBM, terdengar bisik-bisik kekhawatiran. Sejarah Muncar penuh dengan bayang-bayang kelangkaan solar: pada 2022, nelayan sempat menduduki kantor UPT Pelabuhan Perikanan Muncar, memprotes kuota yang diprioritaskan untuk kapal besar meski nelayan kecil—seperti Jumali dengan perahunya di bawah 7 GT—sering kehabisan stok. “Kami yang tangkap ikan kecil-kecilan, tapi selalu antre belakang,” keluh Asmuni, koordinator nelayan lokal yang kini melihat perbaikan pasca-reformasi rekomendasi pembelian yang diperpanjang hingga sebulan. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Banyuwangi menunjukkan, penyaluran solar di SPBN Muncar kini stabil di bawah kuota nasional, berkat pengawasan ketat BPH Migas yang mencegah penimbunan—masalah endemik yang pernah merugikan nelayan hingga Rp 150 ribu per trip akibat biaya tambahan.
Baca juga : Uni Eropa Tetap Tekan Israel untuk Penuhi Kewajiban di Gaza Pasca-Gencatan Senjata
Secara akademis, peran SPBN ini melampaui sekadar logistik; ia adalah instrumen kebijakan publik yang menstabilkan ekonomi pesisir. Studi dari Universitas Airlangga (2023) menyoroti bagaimana subsidi solar berkontribusi hingga 40% terhadap pendapatan nelayan Muncar, mengurangi volatilitas harga ikan akibat overfishing dan limbah industri. Dengan 920 kapal yang beroperasi, sektor ini tidak hanya menghasilkan Rp 200 miliar per tahun dari tangkapan ikan, tapi juga mendukung 5.000 pekerjaan tidak langsung di pengolahan dan distribusi. Namun, tantangan struktural tetap mengintai: perubahan iklim yang memperpanjang musim angin barat, seperti yang terlihat Februari lalu ketika tangkapan anjlok 60%, menuntut diversifikasi energi—mungkin panel surya di kapal atau biofuel dari limbah ikan. “Kami butuh lebih dari solar; kami butuh masa depan yang hijau,” tambah Hasan Basri, ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Banyuwangi, yang mendorong kolaborasi dengan koperasi seperti Mina Jaya di wilayah tetangga sebagai model pengelolaan berkelanjutan.
Pagi itu, saat becak motor melaju membawa jerigen penuh menuju kapal-kapal yang bergoyang di ombak, Pelabuhan Muncar tampak seperti metafor ketangguhan pesisir Indonesia. Penyaluran solar bukan hanya bahan bakar; ia adalah jembatan antara tradisi nelayan dan ambisi ekonomi nasional. Di tengah gelombang ketidakpastian global, Muncar mengingatkan kita bahwa stabilitas dimulai dari dermaga kecil—satu jerigen pada satu waktu.
Pewarta : Setiawan Wibisono
