
RI News Portal. Padang, 23 September 2025 – Di bawah langit cerah yang membentang di pesisir barat Sumatera, Kota Padang tetap berdiri gagah sebagai jantung budaya Minangkabau. Legenda Malin Kundang yang mengajarkan pelajaran tentang pengkhianatan anak terhadap ibu, atau kisah Sitti Nurbaya yang melambangkan perjuangan cinta di tengah adat ketat, kini seolah menjadi metafor ironis bagi realitas hari ini. Kekayaan adat yang dirayakan melalui rumah gadang dan rendangnya yang mendunia, kini tercoreng oleh bayang-bayang penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Di SPBU 14.252.521 yang beralamat di Jalan Ranah Binuang No. 4, Ranah Parak Rumbio, Kecamatan Padang Selatan, indikasi kuat penyelewengan subsidi negara menjadi sorotan. Bukan sekadar pelanggaran administratif, kasus ini membuka luka hukum dan sosial yang dalam, di mana rekomendasi pemerintah daerah (rekom) – yang seharusnya menjadi jembatan kesejahteraan – justru berubah menjadi kedok mafia untuk menguras kantong rakyat kecil.
Kasus ini muncul dari pengamatan lapangan yang dilakukan oleh jurnalis independen pada awal September lalu. Di tengah hiruk-pikuk antrean kendaraan roda dua milik warga biasa, terlihat deretan jerigen logam dan plastik yang mengular panjang, bukan untuk kebutuhan rumah tangga sederhana, melainkan untuk pengangkutan massal yang mencurigakan. Sumber terpercaya di lokasi mengungkapkan bahwa pembeli-pembeli ini datang dengan surat rekomendasi dari instansi daerah, yang seolah memberi lampu hijau untuk pembelian berlebih. Namun, saat tim media mendekati untuk konfirmasi, seorang pekerja SPBU – yang enggan disebut namanya – memberikan penjelasan yang terasa dipaksakan: “Ini semuanya prosedural, untuk keperluan nelayan dan UMKM lokal.” Realitas lapangan berkata sebaliknya: jerigen-jerigen itu hilang begitu saja ke gudang-gudang tak resmi, diduga dijual kembali ke pasar gelap dengan harga dua kali lipat, meninggalkan bau amis pengkhianatan di udara tropis Padang.

Untuk memahami kedalaman pelanggaran ini, kita perlu menyelami kerangka regulasi nasional dan daerah yang mengatur distribusi BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Biosolar. Secara prinsip, pembelian BBM subsidi dengan jerigen tidaklah dilarang mutlak, asal memenuhi syarat ketat yang dirancang untuk mencegah penimbunan dan niaga ilegal. Berdasarkan Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Nomor 17 Tahun 2019 tentang Penerbitan Surat Rekomendasi Perangkat Daerah untuk Pembelian Jenis BBM Tertentu, pembelian jerigen hanya boleh dilakukan oleh pihak yang memiliki surat rekomendasi resmi dari pemerintah daerah atau kementerian terkait, khusus untuk keperluan non-komersial seperti nelayan kecil, pertanian, atau transportasi publik terbatas. Jerigen yang digunakan pun harus berbahan logam atau plastik khusus dengan spesifikasi standar keselamatan, dan volume dibatasi maksimal 20 liter per transaksi untuk menghindari spekulasi.
Di tingkat daerah, Provinsi Sumatera Barat – termasuk Kota Padang – memiliki mekanisme rekomendasi yang lebih spesifik. Pemerintah daerah setempat, melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), bertugas menerbitkan surat tersebut hanya untuk kelompok rentan seperti nelayan di perairan Teluk Padang atau petani di lereng Gunung Marapi. Pada 2025, Pemkab Pasaman Barat, misalnya, membatasi rekomendasi untuk kapal nelayan berkapasitas di bawah 30 gross tonnage, dengan kuota bulanan ketat untuk menjaga subsidi tetap tepat sasaran. Namun, data dari DPRD Sumbar menunjukkan lonjakan mencurigakan: penerbitan surat rekomendasi melonjak menjadi 1.583 lembar pada Februari 2025 saja, jauh di atas rata-rata tahun sebelumnya, yang memicu dugaan kolusi antara pejabat daerah dan pelaku usaha. Usulan pembatasan BBM subsidi bagi kendaraan luar daerah, yang diajukan DPRD Sumbar bersama Badan Pendapatan Daerah, justru belum terealisasi, membuka celah lebar bagi modus ini.
Baca juga : Netflix Umumkan ‘Alice in Borderland 3’: Kembalinya Permainan Mematikan di Tengah Trauma dan Misteri Joker
Praktik di SPBU Ranah Binuang jelas melanggar semangat aturan ini. Operator SPBU diduga memfasilitasi pengisian jerigen tanpa verifikasi mendalam terhadap rekomendasi, bahkan mengabaikan larangan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang melarang penjualan BBM subsidi untuk tujuan niaga. Koordinator lapangan yang disinyalir mengatur alur ini – mungkin berperan sebagai “broker” antara pejabat daerah dan mafia – membuat distribusi yang seharusnya menjangkau nelayan miskin justru mengalir ke tangan spekulan, yang menjualnya kembali atau bahkan diekspor ke daerah tetangga.
Dari perspektif hukum, kasus ini bukan sekadar kelalaian, melainkan rangkaian tindak pidana yang terstruktur. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, secara tegas mengkriminalisasi penyalahgunaan BBM subsidi melalui Pasal 55 jo Pasal 40 ayat 9. Pelaku, termasuk operator SPBU yang terlibat, bisa dijerat pidana penjara hingga enam tahun dan denda mencapai Rp60 miliar. Keterlibatan pihak SPBU sebagai “penyalur ilegal” memperberat tuduhan, karena mereka bertindak sebagai fasilitator utama, melanggar kewajiban pengawasan Pertamina sebagai penyalur resmi.
Lebih dalam lagi, kajian hukum konstitusional menyoroti pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang mewajibkan cabang produksi yang vital seperti energi dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penyelewengan ini bukan hanya merugikan APBN – estimasi kerugian nasional dari penyalahgunaan BBM mencapai triliunan rupiah per tahun – tapi juga melanggar prinsip keadilan distributif. Di Sumbar, di mana BPH Migas telah menerapkan pilot project pengawasan berbasis teknologi seperti QR code untuk penyaluran, kegagalan implementasi di Padang Selatan menunjukkan kelemahan koordinasi antarlembaga.

Ahli hukum energi dari Universitas Andalas, Dr. Reza Fahlevi, dalam wawancara eksklusif, menegaskan: “Ini bukan sekadar korupsi subsidi, tapi pengkhianatan terhadap mandat konstitusi. Rekomendasi daerah harus direformasi dengan verifikasi digital untuk memutus rantai mafia.”
Dampak sosial dari skandal ini seperti racun yang merembes ke pori-pori masyarakat Padang. Bagi warga kelas bawah – para sopir ojek online, nelayan kecil di Pantai Air Manis, atau pedagang pasar di Pasar Raya – subsidi BBM adalah napas kehidupan. Ketika kuota habis karena “dipinjam” mafia, harga BBM non-subsidi melonjak, memicu kenaikan ongkos transportasi hingga 20% dalam sepekan terakhir. Seorang nelayan tua di Ranah Parak Rumbio, Pak Yusri (55 tahun), berbagi keluhannya: “Kami yang butuh untuk jaring ikan, malah antre berjam-jam. Ini seperti Malin Kundang yang lupa asalnya – subsidi untuk rakyat, tapi dikuasai segelintir orang.”

Lebih dari itu, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah retak. Di tengah budaya Minangkabau yang menjunjung tinggi “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”, di mana keadilan adalah pondasi, kasus ini memicu rasa apatis. Survei informal oleh LSM lokal EcoWatch Sumbar menemukan bahwa 68% responden di Padang Selatan merasa “dikhianati” oleh instansi daerah, yang justru menjadi sumber rekomendasi bermasalah. Dampak jangka panjang? Peningkatan kemiskinan struktural, di mana UMKM Minang – dari produsen salai ikan hingga pengrajin pandai emas – tercekik biaya operasional, berpotensi menambah angka pengangguran remaja yang sudah mencapai 15% di provinsi ini.
Masyarakat Padang kini bersuara lantang. Forum Warga Ranah Parak Rumbio menuntut penindakan tegas: sanksi administratif bagi SPBU pelanggar, mulai dari pencabutan izin hingga tuntutan perdata atas kerugian negara. Bagi mafia dan koordinator lapangan, hukuman pidana sesuai UU yang berlaku adalah kewajiban moral. “Kami ingin aparat hukum seperti Polres Padang dan BPH Migas turun tangan, bukan hanya sidak sporadis.
Skandal di SPBU Ranah Binuang bukan akhir, tapi panggilan darurat untuk reformasi. Dengan pengawasan berbasis AI yang direkomendasikan BPH Migas, dan kolaborasi lintas daerah seperti yang diusulkan DPRD Sumbar, subsidi BBM bisa kembali menjadi alat pemberdayaan, bukan senjata korupsi. Di tanah Minang yang penuh cerita perjuangan, saatnya pemerintah daerah dan aparat hukum membuktikan bahwa adat keadilan masih hidup. Jika tidak, legenda Malin Kundang akan terus bergema: pengkhianatan tak pernah tanpa balasan.
Pewarta : Sami S
