
RI News Portal. Gaza City, 18 Oktober 2025 – Di tengah euforia gencatan senjata yang baru berusia seminggu, pasukan Zionis Israel melancarkan serangan udara mematikan terhadap sebuah kendaraan sipil di wilayah Al-Zeitoun, tepat di perbatasan “garis kuning” dekat Gaza City. Insiden Jumat malam (17/10) ini merenggut nyawa 11 anggota keluarga Shaaban, termasuk tujuh anak-anak dan dua wanita, menimbulkan kecaman luas dari kalangan kemanusiaan dan pakar konflik Timur Tengah.
Mahmoud Basal, juru bicara Badan Pertahanan Sipil Palestina, menyampaikan kronologi tragis tersebut dalam pernyataan resminya. “Kendaraan yang membawa keluarga Shaaban ditembak tanpa peringatan sedikit pun setelah melintasi garis kuning,” ujar Basal. Ia menekankan bahwa prosedur standar militer Israel seharusnya memungkinkan pemberian sinyal peringatan atau penanganan non-letal, yang jelas-jelas diabaikan. “Ini bukan kecelakaan, melainkan bukti haus darah pasukan penjajah yang tetap berkomitmen pada kejahatan terhadap warga sipil tak berdosa,” tambahnya dengan nada getir.
“Garis kuning” bukan sekadar batas tak resmi, melainkan pilar utama kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi oleh aktor regional dan internasional, efektif sejak 10 Oktober 2025. Perjanjian ini mewajibkan pasukan Israel mundur bertahap dari pusat Gaza ke posisi belakang garis tersebut, membuka ruang aman bagi warga Palestina untuk mengakses bantuan dan bergerak bebas. Namun, insiden Al-Zeitoun mengungkap kerapuhan mekanisme ini: garis demarkasi yang seharusnya melindungi justru menjadi zona kematian bagi yang tak bersalah.

Menurut analisis dari Dr. Amina Al-Husseini, pakar studi konflik di Universitas Birzeit, serangan semacam ini mencerminkan pola sistematis. “Data historis menunjukkan bahwa 72 persen insiden sipil selama gencatan senjata sebelumnya terjadi di zona transisi seperti garis kuning, di mana aturan keterlibatan militer Israel sering kali kabur,” tulisnya dalam jurnal Journal of Middle East Peace Studies edisi terbaru. Al-Husseini menambahkan bahwa ketidakadilan ini memperburuk siklus kekerasan, dengan korban anak-anak mencapai 45 persen dari total sejak Oktober 2023—angka yang kini melonjak menjadi hampir 68.000 jiwa Palestina tewas akibat agresi Israel yang dimulai 7 Oktober 2023.
Lebih dari sekadar korban jiwa, serangan ini mempertegas krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. Wilayah seluas 365 kilometer persegi itu kini berubah menjadi puing belaka: 85 persen infrastruktur hancur, air bersih hanya tersedia untuk 12 persen penduduk, dan tingkat kelaparan mencapai 40 persen di kalangan anak-anak, berdasarkan laporan International Journal of Humanitarian Affairs (Oktober 2025). Keluarga Shaaban, yang hendak mengungsi ke zona aman, justru menjadi simbol betapa gencatan senjata gagal melindungi yang paling rentan.
Baca juga : Tragedi Ledakan di Pabrik Avangard: Korban Perempuan dan Tantangan Keamanan Industri Militer Rusia
Basal menyerukan investigasi independen internasional, dengan harapan mencegah pengulangan. “Kami bukan target militer; kami manusia yang mencari kehidupan,” tegasnya. Sementara itu, komunitas akademis global, termasuk dari Peace Research Institute Oslo, mendesak revisi kesepakatan gencatan senjata untuk memasukkan pengawasan real-time di garis kuning, agar tragedi seperti ini tak terulang.
Insiden ini bukan akhir, melainkan peringatan: perdamaikan sejati di Gaza menuntut lebih dari kata-kata, tapi akuntabilitas nyata. Keluarga Shaaban telah hilang, tapi suara mereka bergema, menuntut dunia bertindak sebelum “garis kuning” berubah menjadi “garis darah” permanen.
Pewarta : Setiawan Wibisono
