RI News Portal. Moskow 28 November 2025 – Presiden Rusia Vladimir Putin kembali menegaskan posisi maksimalis Moskow dalam konflik Ukraina dengan menyatakan bahwa penyerahan empat wilayah yang diklaim Rusia—Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson—merupakan prasyarat utama bagi setiap kesepakatan damai yang berkelanjutan. Dalam pernyataan terbarunya, Putin juga membuka peluang bahwa rencana perdamaian yang saat ini digodok Amerika Serikat dapat menjadi “dasar yang memadai” bagi perjanjian akhir, meskipun ia tetap bersikeras bahwa Kyiv harus melucuti senjata dan menarik seluruh pasukannya dari wilayah-wilayah tersebut.
“Jika Ukraina menolak menerima realitas di lapangan, kami akan terus memaksakan realitas itu dengan cara militer,” ujar Putin, menegaskan bahwa Moskow tidak akan mundur dari tuntutan pengakuan internasional atas aneksasi yang telah dilakukan sejak 2022. Ia menyebut setiap kesepakatan yang tidak mencerminkan “kehendak rakyat di wilayah tersebut”—merujuk pada referendum yang dianggap tidak sah oleh komunitas internasional—akan dianggap ilegal oleh Rusia.
Pernyataan tersebut disampaikan di tengah geliat diplomasi intensif yang melibatkan Washington sebagai aktor sentral. Delegasi tinggi Ukraina dijadwalkan bertemu dengan pejabat senior Amerika Serikat pekan ini untuk membahas formula jaminan keamanan jangka panjang bagi Kyiv, sementara utusan khusus Presiden terpilih Donald Trump, Steve Witkoff, diperkirakan akan mengunjungi Moskow dalam waktu dekat guna menyampaikan versi terbaru proposal AS.

Menurut sumber diplomatik yang mengetahui isi draf tersebut, dokumen Amerika Serikat mengusulkan pengakuan de facto atas kontrol Rusia atas wilayah-wilayah yang saat ini diduduki, tanpa pengakuan de jure secara formal, sebagai imbalan atas gencatan senjata permanen dan komitmen non-eskalasi. Skema ini juga mencakup penempatan pasukan penjaga perdamaian multinasional di perbatasan administratif 2022 dan jaminan keamanan bagi Ukraina yang tidak berbentuk keanggotaan NATO, melainkan perjanjian bilateral dengan sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat.
Posisi Ukraina tetap teguh. Kepala Kantor Presiden Andriy Yermak menegaskan kembali bahwa penyerahan wilayah apapun “tidak mungkin secara konstitusional dan tidak akan pernah diterima oleh rakyat Ukraina.” Kyiv bersikeras bahwa setiap perjanjian harus didasarkan pada pemulihan integritas teritorial penuh sesuai garis batas yang diakui internasional pada 1991.
Di lapangan, Rusia mengklaim pasukannya telah berhasil mengepung kota Pokrovsk, pusat logistik penting di oblast Donetsk barat. Jika klaim tersebut terverifikasi, hal ini akan menjadi pukulan strategis berat bagi pertahanan Ukraina di Donbas serta memperkuat posisi tawar Moskow menjelang perundingan. Namun hingga kini belum ada konfirmasi independen yang mendukung pernyataan tersebut.
Baca juga: Presiden Prabowo Perintahkan Percepatan Tanggap Darurat Bencana di Tiga Provinsi Sumatra
Sementara itu, negara-negara Eropa mulai merumuskan kontribusi konkret untuk arsitektur keamanan pasca-gencatan senjata. Turki menyatakan kesiapan mengirimkan kontingen signifikan sebagai bagian dari kekuatan penjaga perdamaian, sementara Prancis, Inggris, dan Jerman tengah mengkoordinasikan paket jaminan yang mencakup akses Ukraina ke senjata defensif jangka panjang dan mekanisme konsultasi keamanan yang mengikat.
Para analis menilai bahwa meskipun proposal AS membuka celah diplomasi yang sebelumnya tertutup, jarak antara tuntutan maksimalis Rusia dan garis merah Ukraina masih sangat lebar. Ketidakcocokan mendasar mengenai status hukum wilayah yang diduduki—apakah akan diakui de facto, dibekukan dalam status quo, atau dikembalikan sepenuhnya—tetap menjadi penghalang utama menuju kesepakatan komprehensif.

Dengan musim dingin yang semakin mendekat dan tekanan ekonomi yang terus membayangi semua pihak, pertemuan-pertemuan pekan depan antara Kyiv-Washington dan Witkoff-Moskow akan menjadi penentu apakah 2025 akan menjadi tahun terobosan diplomatik atau kelanjutan eskalasi militer di Eropa Timur.
Pewarta : Setiawan Wibisono

