
RI News Portal. Jakarta, 16 Juni 2025 — Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dipastikan akan segera mengambil keputusan strategis atas polemik batas administrasi antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, khususnya terkait pengelolaan empat pulau perbatasan. Polemik ini kembali mencuat seiring adanya perbedaan klaim administratif dan historis atas Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang.
Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (16/6/2025). “Presiden mengambil alih ini langsung dan dijanjikan secepatnya akan diselesaikan,” ujar Hasan. Menurutnya, penyelesaian konflik batas wilayah ini akan dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip dialogis, menjaga keutuhan nasional, dan menghindari ketegangan antarwilayah.
Hasan Nasbi menegaskan bahwa dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kedaulatan atas wilayah merupakan otoritas eksklusif pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya menjalankan fungsi administratif dalam bingkai otonomi daerah yang bersifat terbatas. Dalam hal ini, kewenangan untuk menentukan batas wilayah antarprovinsi, termasuk status administratif pulau-pulau perbatasan, berada sepenuhnya di tangan pemerintah pusat.

“Kalau dalam konsep negara kita, yang punya kedaulatan atas wilayah itu adalah pemerintah pusat, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah daerah itu punya wilayah administrasi,” jelas Hasan. Ia menambahkan bahwa apabila terdapat ketidaksesuaian atau tumpang tindih klaim, maka penyelesaian secara administratif dan politis harus dikembalikan ke pusat.
Pernyataan ini selaras dengan norma konstitusional Pasal 18 UUD 1945 dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa pengaturan batas wilayah antar daerah merupakan kewenangan pusat guna menjaga integrasi nasional dan kepastian hukum administratif.
Polemik ini sejatinya bukan isu baru. Sejak masa kolonial tahun 1928, persoalan delimitasi wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara sudah tercatat dalam dokumen pemerintahan kolonial Belanda. Namun, permasalahan kembali mengemuka secara kontemporer setelah Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Baca juga : Polres Wonogiri Integrasikan Kepedulian Sosial dan Ekologis dalam Peringatan Hari Bhayangkara ke-79
Kebijakan tersebut memicu perbedaan aspirasi di antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, yang sama-sama mengklaim adanya hubungan historis, geografis, dan administratif terhadap keempat pulau tersebut. Pemerintah Aceh, melalui Kabupaten Aceh Singkil, mengklaim bahwa masyarakat adat dan nelayan lokal telah lama menjadikan pulau-pulau itu sebagai bagian dari aktivitas ekonomi dan budaya mereka.
Menanggapi dinamika ini, Hasan Nasbi menekankan pentingnya penyelesaian secara damai dan melalui mekanisme musyawarah. Ia membuka peluang adanya pertemuan langsung antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara untuk membahas pandangan masing-masing sebelum Presiden mengambil keputusan final. “Karena ini bahasanya kita sama-sama anak bangsa, kita tidak sedang bersengketa dengan negara lain. Jadi, penyelesaiannya pun harus dengan cara yang dingin dan dialogis,” tegas Hasan.
Presiden Prabowo dipastikan akan mempertimbangkan semua aspek—baik historis, yuridis, maupun aspirasi masyarakat lokal—sebelum menetapkan kebijakan. Langkah ini menunjukkan konsistensi negara dalam menegakkan asas desentralisasi yang proporsional tanpa kehilangan kendali sentral atas kedaulatan dan keutuhan wilayah.
Polemik batas wilayah administratif ini merupakan cerminan pentingnya reformulasi mekanisme delimitasi dan demarkasi wilayah antardaerah yang lebih partisipatif dan berbasis data spasial yang akurat. Ke depan, pendekatan yang melibatkan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian ATR/BPN, dan institusi akademik, sangat krusial untuk memastikan bahwa penetapan batas wilayah tidak sekadar formal administratif, tetapi juga sensitif terhadap konteks sosial dan historis masyarakat setempat.
Pemerintah pusat melalui Presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk mengambil keputusan final. Namun, legitimasi sosial dan penerimaan di tingkat lokal tetap menjadi kunci keberhasilan implementasi keputusan tersebut. Dengan pendekatan dialogis dan berbasis data, Presiden Prabowo diharapkan tidak hanya menyelesaikan persoalan ini, tetapi juga menetapkan preseden baru dalam tata kelola perbatasan administratif dalam NKRI.
Pewarta : Yudha Purnama

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal
#teman, #all, #wartawan, #berita