RI News Portal. Jakarta, 29 November 2025 – Sebuah studi longitudinal yang dilakukan oleh Pusat Kajian Demografi Universitas Indonesia (2023-2025) mengungkap fakta yang kini tak lagi bisa dianggap sekadar “keluhan generasi strawberi”. Lebih dari 68% responden berusia 23-35 tahun menyatakan bahwa mereka secara sadar menunda atau bahkan membatalkan rencana pernikahan karena tekanan biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi jangka panjang.
Penelitian yang melibatkan 8.400 responden di 12 kota besar ini menemukan bahwa alasan finansial mengalahkan jauh semua faktor lain yang selama ini sering diduga menjadi penyebab, seperti “takut komitmen” atau “masih ingin menikmati hidup”. Sebanyak 72,4% responden menyebut “biaya pernikahan dan biaya hidup setelah menikah” sebagai pertimbangan nomor satu, disusul “ketidakpastian pekerjaan dan penghasilan” (61,7%), serta “belum memiliki tabungan atau aset untuk masa depan anak” (54,3%).
“Yang menarik,” ungkap Dr. Sunny Tanuwidjaja, ketua tim peneliti, “ketika kami meminta responden memilih satu alasan paling berat, jawaban yang paling dominan adalah: ‘Saya tidak ingin menikah dulu kalau hanya akan membuat pasangan saya ikut menderita secara finansial’. Ini menunjukkan pergeseran nilai yang sangat signifikan: pernikahan tidak lagi dilihat sebagai ‘tujuan hidup’, melain sebagai ‘tanggung jawab bersama yang membutuhkan fondasi ekonomi yang kuat’.”

Data lapangan juga memperlihatkan angka-angka yang mencemaskan. Rata-rata biaya pernikahan sederhana di kota besar kini mencapai Rp180-250 juta (termasuk resepsi, catering, dokumentasi, dan sewa gedung), belum termasuk biaya tempat tinggal. Sementara itu, 58% responden berusia 25-30 tahun masih berpenghasilan di bawah Rp10 juta per bulan, dan 41% di antaranya masih tinggal bersama orang tua atau kontrak kos karena belum mampu membeli atau menyicil rumah.
Persepsi terhadap pernikahan pun telah berubah total dibandingkan generasi sebelumnya. Jika pada era 1990-2000-an, menikah di usia 25 tahun bagi perempuan dan 28 tahun bagi laki-laki dianggap “tepat waktu”, kini usia rata-rata pernikahan pertama di perkotaan telah bergeser ke 31,2 tahun bagi perempuan dan 33,8 tahun bagi laki-laki. Stigma “perawan tua” atau “bujangan tua” nyaris lenyap di kalangan generasi muda perkotaan terdidik. Yang muncul justru stigma baru: “menikah tapi miskin” atau “menikah lalu cerai karena ekonomi”.
Para peneliti menilai, tanpa intervensi kebijakan yang konkret, tren ini berpotensi menciptakan “jebakan demografi terbalik”: angka pernikahan terus turun, angka kelahiran menukik, dan beban tanggungan lansia di masa depan semakin berat karena jumlah anak produktif semakin sedikit.
Baca juga : Ketidakpastian Regulasi Hulu Migas: Ancaman Nyata bagi Target Swasembada Energi 2035
Beberapa solusi konkret yang diusulkan dalam laporan tersebut antara lain:
- Program subsidi perumahan khusus pasangan muda yang baru menikah (bukan hanya untuk yang sudah punya anak) dengan tenor cicilan hingga 30 tahun dan bunga di bawah 3%.
- Insentif pajak progresif bagi perusahaan yang memberikan tunjangan pernikahan atau tunjangan anak kepada karyawan kontrak dan outsourcing.
- Pengembangan skema KPR syariah berbasis bagi hasil (bukan bunga) yang benar-benar terjangkau bagi pekerja informal dan gig economy.
- Kampanye nasional yang menggeser paradigma “pernikahan harus mewah” menjadi “pernikahan cukup sederhana tapi berkelanjutan secara ekonomi”.
“Pemerintah tidak bisa lagi hanya berkata ‘nikah muda, dapat bonus’. Bonus Rp10-15 juta tidak berarti apa-apa kalau cicilan rumah 30 tahun ke depan masih mencekik,” tegas Sunny.
Studi ini juga mencatat satu temuan yang menggembirakan sekaligus ironis: meski banyak yang menunda pernikahan, 84% responden tetap menyatakan bahwa mereka “sangat ingin menikah dan punya anak” jika kondisi ekonomi memadai. Artinya, keinginan untuk berkeluarga tidak hilang — yang hilang hanyalah kemampuan untuk mewujudkannya.
Jika tidak ada langkah nyata dalam lima tahun ke depan, Indonesia berisiko memasuki fase “low fertility trap” yang dialami Jepang dan Korea Selatan, di mana angka kelahiran turun di bawah 1,0 dan sulit sekali untuk kembali naik meski pemerintah sudah menggelontorkan triliunan rupiah.
“Pernikahan bukan lagi soal adat atau agama semata. Di era ini, pernikahan telah menjadi isu ekonomi dan keadilan sosial,” tutup laporan tersebut.
Studi ini akan dipresentasikan secara lengkap pada Seminar Nasional Demografi 2025 bulan depan dan diharapkan menjadi salah satu masukan utama bagi penyusunan RPJMN 2025-2029.
Pewarta : Yudha Purnama

