
RI News Portal. Jakarta, 27 September 2025 – Dalam sebuah operasi lintas batas yang menyoroti kerentanan sektor keuangan digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui National Central Bureau (NCB) Interpol berhasil menangkap Adrian Agung Gunawan (AAG), mantan Direktur PT Investree Radhika Jaya. Penangkapan ini menjadi tonggak penting dalam penegakan hukum terhadap praktik pengumpulan dana masyarakat tanpa izin resmi, yang telah merugikan ribuan investor sejak 2022 hingga Maret 2024 dengan total nilai mencapai Rp2,7 triliun.
Kasus ini tidak hanya mengungkap celah regulasi di platform fintech, tetapi juga menekankan urgensi sinergi internasional untuk memerangi kejahatan ekonomi transnasional. AAG, yang diduga menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadi, sempat melarikan diri ke luar negeri dan bersembunyi di Doha, Qatar. “Selama penyidikan, tersangka justru melarikan diri ke luar negeri dan bersembunyi di Doha, Qatar,” ungkap Yuliana, Deputi Komisioner Bidang Hukum dan Penyidikan OJK, dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat (26/9/2025). Pernyataan ini menggarisbawahi bagaimana pelaku kejahatan keuangan sering memanfaatkan mobilitas global untuk menghindari tanggung jawab.
Proses pemulangan AAG melibatkan kolaborasi multi-institusi, termasuk OJK, Polri, Kementerian Luar Negeri, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Qatar. Sebelumnya, AAG telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik OJK berdasarkan dugaan pelanggaran Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPSK), serta Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukuman yang dihadapi mencakup pidana penjara paling singkat 5 tahun hingga maksimal 10 tahun, sebuah ketentuan yang dirancang untuk mencegah penyalahgunaan kepercayaan publik di sektor keuangan.

Saat ini, AAG berada dalam status tahanan OJK yang dititipkan di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Yuliana menambahkan bahwa OJK terus berkoordinasi dengan Bareskrim terkait laporan korban Investree yang masuk ke Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya. Koordinasi ini mencerminkan pendekatan holistik dalam menangani dampak korban, di mana kerugian finansial tidak hanya bersifat materiil tetapi juga psikologis, mengingat banyak investor yang terlibat adalah masyarakat menengah ke bawah yang mencari alternatif investasi di era digital.
Dari perspektif penegakan hukum internasional, Irjen Pol Amur Chandra, Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, menekankan komitmen lembaganya dalam memberantas kejahatan tanpa batas. “Tidak ada tempat yang aman bagi pelaku kejahatan, baik dia yang kabur ke luar negeri, maupun bersembunyi dalam negeri,” tegas Chandra. Proses pemulangan AAG digambarkan sebagai operasi yang rumit, dengan titik balik terjadi pada Konferensi Interpol Asia Regional di Singapura. Di sana, delegasi Indonesia mengadakan pertemuan bilateral dengan otoritas Qatar, yang menyatakan komitmen membantu mengamankan tersangka meskipun ia memiliki status permanent residence di negara tersebut.
Setelah serangkaian negosiasi dan prosedur hukum yang panjang, AAG berhasil ditangkap di Doha pada Rabu, 24 September 2025. Ia diterbangkan kembali ke Indonesia pada Kamis, 25 September 2025, dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Jumat, 26 September 2025. Setibanya di bandara, AAG langsung menjalani pemeriksaan oleh tim Interpol, menandai akhir dari pelarian yang telah berlangsung berbulan-bulan.
Baca juga : Gotong Royong Warga Brebes: Dari Aksi Mandiri hingga Respons Pemerintah
Yuliana mengapresiasi dukungan dari berbagai pihak, termasuk Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). “Sinergi ini sebagai wujud komitmen memperkuat hukum sektor keuangan dan melindungi masyarakat,” katanya. Apresiasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan pengakuan atas model kerjasama yang bisa menjadi blueprint bagi kasus serupa di masa depan, di mana kejahatan keuangan sering melibatkan elemen lintas yurisdiksi.
Chandra menambahkan bahwa keberhasilan ini merupakan bukti nyata dari kerjasama internasional yang efektif dalam memerangi kejahatan transnasional. Kasus AAG menyoroti bagaimana platform fintech, yang dimaksudkan untuk democratize akses keuangan, bisa disalahgunakan jika regulasi tidak ditegakkan secara ketat. Di tengah maraknya investasi digital pasca-pandemi, penangkapan ini menjadi peringatan bagi regulator untuk memperkuat pengawasan, termasuk melalui teknologi pemantauan transaksi real-time dan edukasi publik tentang risiko investasi ilegal.
Secara akademis, kasus ini mengundang analisis mendalam mengenai interseksi antara hukum keuangan, diplomasi internasional, dan etika bisnis. Peneliti di bidang kriminologi ekonomi mungkin melihat ini sebagai studi kasus tentang bagaimana pelarian ke negara dengan rezim hukum berbeda—seperti Qatar—dapat diatasi melalui jaringan Interpol. Selain itu, implikasi bagi korban menekankan perlunya mekanisme restitusi yang lebih kuat, di mana dana yang disalahgunakan bisa dikembalikan melalui proses hukum yang transparan.
OJK dan Polri menyatakan bahwa penyidikan akan terus berlanjut untuk mengungkap jaringan yang mungkin terlibat, memastikan bahwa keadilan tidak hanya untuk AAG tetapi juga untuk ribuan korban yang terdampak. Kasus ini, dengan nilai kerugian yang masif, menjadi pelajaran berharga bagi ekosistem keuangan Indonesia untuk mencegah tragedi serupa di masa mendatang.
Pewarta : Yogi Hilmawan
