
RI News Portal. Tulungagung, Jawa Timur — Aktivitas penambangan pasir dan batu kerikil (sirtu) ilegal kembali mencuat di sepanjang bantaran Sungai Brantas, Kabupaten Tulungagung. Kegiatan ini dilakukan secara masif menggunakan alat berat seperti ekskavator dan mesin sedot rakitan berbahan bakar solar bersubsidi, tanpa izin resmi dari otoritas terkait. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran ekologis, tetapi juga mengindikasikan adanya praktik korupsi dan pembiaran sistemik.
Hasil investigasi tim media menunjukkan bahwa penambangan berlangsung aktif di beberapa titik, terutama di Desa Kates dan Desa Rejotangan, Kecamatan Rejotangan. Di lokasi tersebut, terpantau lima unit mesin sedot rakitan dan tiga ekskavator beroperasi setiap hari. Sejumlah truk pengangkut hasil tambang terlihat mengantri untuk keluar dari lokasi, menandakan adanya rantai distribusi yang terorganisir.
Tidak ditemukan papan informasi legalitas atau izin usaha di lokasi, memperkuat dugaan bahwa kegiatan ini berlangsung secara ilegal. Lebih memprihatinkan, penggunaan bahan bakar bersubsidi jenis solar untuk operasional alat berat menambah dimensi pelanggaran terhadap regulasi energi dan lingkungan.

Nama-nama berinisial T, BN, dan KS disebut sebagai pemilik tambang ilegal tersebut. Bahkan, seorang pengusaha berinisial TG yang diduga merupakan pejabat aktif, turut disebut terlibat dalam jaringan ini. Menurut sumber anonim yang merupakan mantan penambang, setiap unit alat berat diduga memberikan “setoran” bulanan sebesar Rp3 hingga Rp5 juta.
“Jangan direkam ya, mas. Yang kami tahu, mereka bayar atensi tiap bulan. Tapi jangan bilang kalau saya yang cerita,” ujar sumber tersebut saat ditemui tim media, Kamis (7/8/2025).
Pernyataan ini mengindikasikan adanya praktik pungutan liar dan potensi konflik kepentingan antara pelaku usaha dan oknum aparat.
Eko S., seorang pemerhati lingkungan dan kebijakan publik, menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak ekologis dari aktivitas penambangan ilegal ini. Ia menyoroti kerusakan struktur tanah di bantaran sungai, gangguan terhadap ekosistem lokal, serta potensi bencana alam seperti banjir dan longsor saat musim hujan.
“Ini sangat berbahaya. Selain merusak lingkungan, aktivitas ini berpotensi menimbulkan bencana alam sewaktu-waktu,” tegas Eko S.
Penambangan sirtu tanpa izin melanggar sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, penggunaan BBM bersubsidi untuk kegiatan komersial bertentangan dengan ketentuan distribusi energi yang diatur oleh pemerintah.
Ketiadaan tindakan tegas dari aparat penegak hukum dan instansi terkait menunjukkan lemahnya pengawasan dan potensi pembiaran terhadap praktik ilegal yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
Pewarta : Miftah (red)
