
RI News Portal. Jakarta, 27 September 2025 – Di tengah sorotan publik terhadap gelombang demonstrasi yang memuncak pada akhir Agustus lalu, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Hukum, HAM, dan Imigrasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra, menegaskan komitmennya untuk menjalankan proses penyidikan dan penanganan perkara secara transparan dan sesuai ketentuan hukum. Pernyataan ini muncul sebagai respons atas kekhawatiran masyarakat mengenai potensi penyalahgunaan wewenang aparat dalam menangani aksi penyampaian pendapat, yang sering kali berujung pada tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Kemenko Kumham Imipas, Jakarta, pada Jumat (26/9/2025), Yusril menekankan bahwa koordinasi antarlembaga telah dilakukan untuk memastikan proses berjalan sistematik, cepat, dan tepat. “Kami melakukan koordinasi ini untuk memastikan dilakukannya proses penyidikan dan penanganan pekerjaan ini secara sistematik, cepat, dan tepat. Kami memastikan semua proses telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku dengan menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak asasi manusia terhadap para tersangka,” ujar Yusril, yang dikenal sebagai pakar hukum tata negara.
Lebih lanjut, Yusril menjelaskan bahwa penahanan hanya diterapkan pada individu yang terbukti terlibat dalam tindak pidana, bukan semata karena partisipasi dalam demonstrasi. Pendekatan ini, menurutnya, bertujuan untuk melindungi hak konstitusional warga dalam menyampaikan aspirasi, sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai konvensi internasional yang diratifikasi Indonesia. “Tidak ada satupun mereka semata-mata ikut dalam demonstrasi itu ditahan aparat kepolisian. Kalaupun ada yang ditahan, yang ikut demonstrasi itu karena mereka terlibat dalam tindak pidana. Tapi kalau murni mereka itu melakukan demonstrasi, itu tidak ada satupun di antara mereka yang ditangkap,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa pengawasan ketat dilakukan untuk menjaga transparansi.

Pernyataan Yusril ini datang menyusul pengumuman Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang menetapkan 959 orang sebagai tersangka terkait kerusuhan selama demonstrasi periode 25-31 Agustus 2025. Kabareskrim Polri, Komjen Pol Syahardiantono, menyampaikan bahwa angka tersebut merupakan hasil penegakan hukum di berbagai Polda se-Indonesia. Dari total tersebut, 664 di antaranya adalah orang dewasa, sementara 295 lainnya berstatus anak-anak di bawah umur. Para tersangka dijerat dengan beragam pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), termasuk penghasutan, pengrusakan bersama, pembakaran, pencurian, dan ujaran kebencian.
Dalam konteks akademis, pendekatan pemerintah ini dapat dilihat sebagai upaya menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan HAM, yang sering menjadi isu krusial dalam demokrasi prosedural Indonesia pasca-Reformasi 1998. Analisis dari perspektif hukum pidana menunjukkan bahwa pembedaan antara peserta demonstrasi damai dan pelaku tindak pidana mencerminkan prinsip proporsionalitas, di mana tindakan represif hanya boleh diterapkan jika terbukti ada ancaman langsung terhadap ketertiban umum. Namun, kritik dari kalangan aktivis HAM sering menyoroti risiko stigmatisasi terhadap anak-anak yang terlibat, mengingat sistem peradilan pidana anak di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam implementasi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) tahun 2012.
Berbeda dari liputan media online konvensional yang cenderung fokus pada angka statistik dan pernyataan resmi, artikel ini menyoroti implikasi jangka panjang terhadap kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Misalnya, dengan adanya 295 anak-anak sebagai tersangka, pemerintah dihadapkan pada urgensi reformasi pendidikan sipil dan pencegahan radikalisasi di kalangan remaja, yang bisa menjadi akar dari eskalasi demonstrasi. Pendekatan ini juga mengundang diskusi interdisipliner antara ilmu hukum, sosiologi, dan psikologi, di mana faktor seperti ketidakadilan sosial sering menjadi pemicu kerusuhan.
Pemerintah menyatakan bahwa proses ini akan terus dipantau untuk menghindari pelanggaran, dengan harapan dapat menjadi model penanganan konflik sosial di masa depan. Masyarakat diimbau untuk tetap kritis namun mendukung proses hukum yang adil, demi memperkuat fondasi demokrasi Indonesia.
Pewarta : Albertus Parikesit
