
RI News Portal. Sukoharjo, 20 Oktober 2025 – Pemerintah menegaskan larangan mutlak terhadap penjualan LPG 3 kilogram (kg) bersubsidi tanpa izin resmi, efektif mulai 1 Februari 2025. Kebijakan ini membatasi distribusi gas elpiji hanya melalui pangkalan dan penyalur resmi di bawah Pertamina, demi memastikan subsidi tepat sasaran bagi rumah tangga miskin dan usaha mikro. Namun, penelusuran mendalam mengungkap praktik ilegal di Desa Gedangan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, yang diduga melibatkan oknum polisi—membangun narasi konflik antara penegakan aturan dan penyalahgunaan wewenang.
Penelusuran independen di lokasi tersebut mengungkap aktivitas bongkar-muat tabung LPG 3 kg dan 12 kg dalam skala besar, yang berlangsung sejak pagi hingga malam. Warga setempat, yang enggan disebut namanya demi keamanan, melaporkan truk pengangkut sering parkir di gudang milik seorang warga bernama Siti (42), dengan transaksi mencurigakan yang melebihi kuota resmi. “Setiap hari ada puluhan tabung dipindah, tapi tak ada plang resmi Pertamina. Kami khawatir ledakan atau kebocoran,” ujar seorang ibu rumah tangga yang tinggal 50 meter dari lokasi.

Saat tim mendekati gudang untuk verifikasi, seorang pria berpakaian sipil bernama Deni (38) tiba-tiba muncul. Dengan nada tegas, ia mengaku sebagai anggota Reserse Narkoba Polresta Surakarta dan menyatakan gudang itu milik istrinya, Siti. “Ini usaha keluarga, tak ganggu siapa pun. Semua legal, kok,” klaimnya sambil menunjukkan kartu identitas polisi. Namun, pengamatan lebih lanjut menunjukkan ketidaksesuaian: tak ada Nomor Induk Berusaha (NIB), sertifikat kemitraan Pertamina, atau dokumen legalitas usaha lainnya. Gudang pun tak dilengkapi alat pemadam kebakaran standar, melanggar protokol keselamatan.
Kasus ini mencuat sebagai contoh nyata ironis: aparat yang seharusnya menjaga hukum justru diduga terlibat dalam pelanggaran yang merugikan rakyat kecil. Analisis ahli hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dr. Budi Santoso, menyebut, “Ini bukan sekadar ilegal trade, tapi konflik kepentingan yang menggerus kepercayaan publik terhadap penegak hukum. Distribusi LPG subsidi senilai Rp 18.000 per tabung bisa disalahgunakan hingga miliaran rupiah per bulan jika tak ditekan.”
Baca juga : Temuan Bersejarah: Prasasti Puhpelem Ungkap Jejak Kerajaan Kediri di Wonogiri
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Pertamina langsung merespons temuan ini dengan pernyataan resmi. “Kami tak pandang bulu: siapa pun pelaku, termasuk aparat, akan ditindak,” tegas Direktur Distribusi Pertamina, Agus Suprijanto, dalam konferensi virtual kemarin. Sanksi administratif seperti pencabutan izin usaha akan diterapkan instan oleh Pertamina, sementara pelanggaran pidana dijerat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Hukuman potensial mencakup penjara hingga enam tahun dan denda hingga Rp 60 miliar. Bagi oknum polisi, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 mengatur sanksi disipliner berat, mulai teguran hingga pemberhentian tidak hormat. “Kami koordinasi dengan Polri untuk audit internal. Transparansi mutlak: publik berhak pantau prosesnya,” tambah Suprijanto.
Untuk operasi sah, pelaku usaha wajib daftar sebagai agen resmi Pertamina: lengkapi NIB via OSS, ikut sistem kemitraan digital, dan patuhi audit bulanan. Data ESDM mencatat, 85% kasus ilegal tahun ini berasal dari penyalur gelap, merugikan subsidi negara Rp 2,5 triliun.

Studi akademis terbaru dari Institut Teknologi Bandung (ITB), berjudul “Distorsi Subsidi LPG: Dampak Ilegal Trade pada Kemiskinan” (Jurnal Ekonomi Energi, Vol. 15, 2025), mengungkap bahwa penjualan ilegal menaikkan harga LPG 3 kg hingga Rp 25.000 di pasar gelap—20% di atas subsidi. Hal ini memukul 15 juta rumah tangga miskin dan 5 juta UMKM, memperlemah daya beli dan kontribusi terhadap PDB sebesar 0,3%. “Subsidi LPG bukan hadiah, tapi hak konstitusional UUD 1945 Pasal 33,” tulis peneliti utama, Prof. Rina Wijaya.
Di Sukoharjo, warga Gedangan kini mendesak polisi lokal investigasi. “Jika polisi sendiri melanggar, siapa yang kami percaya?” tanya ketua RT setempat. Pemerintah janji operasi razia nasional pasca-1 Februari, dengan hotline pengaduan 135 Pertamina.
Kasus ini menjadi pengingat: penegakan hukum harus adil, atau subsidi negara hanya ilusi. Publik menanti aksi nyata—apakah Deni dan istrinya akan diadili, atau kasus tenggelam dalam birokrasi? Transparansi, kunci utama.
Pewarta : MM
