
RI News Portal. Jakarta, 15 September 2025 – Di tengah perdebatan sengit mengenai kebijakan cukai rokok untuk tahun anggaran 2026, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa pemerintah sedang melakukan pendalaman mendetail terhadap berbagai isu terkait, termasuk dugaan adanya praktik manipulasi atau pemalsuan cukai. Pernyataan ini muncul pasca-rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto, menandai pendekatan hati-hati pemerintah dalam menangani sektor yang sensitif secara ekonomi dan sosial ini.
Purbaya menekankan bahwa proses analisis masih berlangsung, sehingga belum ada kesimpulan definitif yang dapat disampaikan. “Nanti saya lihat lagi, saya belum menganalisis mendalam, seperti apa sih cukai rokok itu, katanya ada yang main-main, di mana main-mainnya?” ujarnya saat merespons pertanyaan wartawan mengenai kemungkinan pembatalan kenaikan cukai rokok pada 2026. Pendekatan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk memahami akar masalah sebelum mengambil langkah kebijakan, terutama dalam konteks ekonomi pasca-pandemi di mana industri tembakau menjadi penyumbang signifikan bagi penerimaan negara.
Lebih lanjut, Purbaya menyoroti potensi peningkatan pendapatan negara melalui perbaikan sistem cukai. Ia mengaku sedang mendalami dampak dari pemberantasan kebocoran, seperti cukai palsu yang merugikan kas negara. “Misalnya, kalau saya bisa beresin, saya bisa hilangin cukai-cukai palsu, berapa pendapatannya, dari situ kan saya bergerak ke depan seperti apa,” katanya. Pernyataan ini menunjukkan fokus pada reformasi struktural daripada sekadar penyesuaian tarif, yang bisa menjadi model inovatif dalam pengelolaan fiskal di negara berkembang seperti Indonesia, di mana sektor informal sering kali menjadi celah eksploitasi.

Kebijakan lanjutan, menurut Purbaya, akan sangat bergantung pada hasil studi komprehensif dan analisis data lapangan yang sedang dilakukan oleh tim Kementerian Keuangan. “Tergantung hasil studi dan analisa yang kita dapat dari lapangan,” tegasnya. Pendekatan berbasis bukti ini selaras dengan prinsip-prinsip kebijakan publik modern, yang menekankan integrasi data empiris untuk menghindari dampak negatif terhadap ketahanan ekonomi nasional.
Konteks perdebatan ini semakin relevan mengingat diskusi sebelumnya dalam rapat kerja antara Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR RI pada 10 September 2025. Dalam pertemuan tersebut, fokus utama adalah intensifikasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) dalam rancangan APBN 2026. Anggota Komisi XI, Harris Turino, menyoroti tantangan yang dihadapi oleh industri rokok skala besar, seperti PT Gudang Garam Tbk., yang sedang mengalami kesulitan operasional. Ia juga menekankan nasib ribuan pegawai yang bergantung pada sektor ini, di mana kenaikan cukai yang terlalu agresif berpotensi memperburuk kondisi, khususnya pada segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang dominan di pasar domestik.
Turino mengusulkan alternatif yang lebih berkelanjutan: memperkuat pengawasan terhadap rokok ilegal sebagai cara meningkatkan penerimaan tanpa harus menaikkan tarif cukai secara signifikan. Usulan ini menggarisbawahi dilema klasik dalam ekonomi fiskal, di mana kenaikan pajak sering kali memicu perpindahan konsumen ke produk ilegal, yang justru mengurangi pendapatan negara secara keseluruhan. Studi akademis dari berbagai lembaga riset ekonomi menunjukkan bahwa di negara-negara Asia Tenggara, penguatan regulasi dan teknologi pelacakan seperti sistem traceability bisa meningkatkan efisiensi penerimaan hingga 20-30 persen tanpa membebani industri formal.
Dalam perspektif lebih luas, isu cukai rokok ini bukan hanya soal fiskal, melainkan juga melibatkan dimensi kesehatan masyarakat dan keadilan sosial. Reformasi sistem cukai yang dipertimbangkan pemerintah bisa menjadi langkah progresif untuk mengurangi prevalensi rokok ilegal, yang sering kali mengandung bahan berbahaya dan merugikan upaya pengendalian tembakau nasional. Namun, tanpa data lapangan yang solid, risiko kebijakan yang salah arah tetap tinggi, potensial memengaruhi stabilitas sektor yang menyerap jutaan tenaga kerja di rantai pasok tembakau.
Pemerintah diharapkan segera menyelesaikan pendalaman ini untuk memberikan kepastian bagi pelaku industri dan masyarakat. Sementara itu, para analis ekonomi menilai bahwa pendekatan ini bisa menjadi contoh bagaimana kebijakan fiskal di era digital memanfaatkan analisis data untuk mengatasi kebocoran, sekaligus menjaga keseimbangan antara pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi inklusif.
Pewarta : Setiawan Wibisono
