
RI News Portal. Jakarta — Dalam upaya memperkuat ketertiban sosial dan penegakan hukum, pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk memberikan sanksi tegas terhadap organisasi masyarakat (Ormas) yang terlibat dalam praktik premanisme, gangguan ketertiban umum, serta pelanggaran pidana. Pendekatan ini tidak hanya bersifat represif tetapi juga preventif, dengan menekankan pada integritas kelembagaan Ormas sebagai pilar demokrasi sipil. Berbeda dari liputan media konvensional yang sering kali berfokus pada aspek sensasional kasus individu, analisis ini menyoroti dimensi struktural kebijakan, termasuk implikasi konstitusional dan dampak sosial-ekonomi di wilayah rawan seperti Sumatra Utara (Sumut).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yang telah diamendemen melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, menjadi landasan utama bagi kebijakan ini. UU tersebut secara eksplisit mengatur batasan aktivitas Ormas untuk mencegah penyalahgunaan wewenang yang dapat merusak harmoni masyarakat. Secara spesifik, Pasal 59 UU Ormas melarang Ormas melakukan tindakan kekerasan, pemaksaan, atau kegiatan yang mengganggu ketertiban umum, termasuk afiliasi dengan kelompok premanisme. Sementara itu, Pasal 61 hingga 63 menguraikan gradasi sanksi, mulai dari administratif seperti pencabutan izin operasional dan badan hukum, hingga pembubaran organisasi dan tuntutan pidana bagi anggota atau pengurus yang terlibat. Pendekatan ini mencerminkan prinsip proporsionalitas dalam hukum administrasi negara, di mana sanksi disesuaikan dengan tingkat pelanggaran untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berserikat (sebagaimana dijamin Pasal 28E UUD 1945) dan kepentingan publik.

Menurut Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polkam), Irjen Pol. Desman Sujaya Tarigan, ketentuan ini dirancang untuk menangani Ormas yang menyimpang dari tujuan pendiriannya. Dalam pernyataan tertulisnya pada Jumat, 22 Agustus 2025, Desman menekankan, “Pelanggaran Ormas bisa dicabut izin operasionalnya, izin badan hukumnya, bisa dibubarkan dan sanksi pidana. Jika pelanggaran terkait Ormas, apalagi tindak pidana.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan respons terhadap tren peningkatan kasus premanisme yang sering kali disokong oleh struktur Ormas informal. Dari perspektif akademis, hal ini dapat dianalisis melalui lensa teori kontrol sosial Robert Merton, di mana deviasi kelompok seperti premanisme muncul dari ketidakseimbangan antara norma masyarakat dan akses sumber daya, sehingga memerlukan intervensi negara yang tegas namun adil.
Fokus pada Sumatra Utara sebagai studi kasus mengungkap urgensi kebijakan ini. Berdasarkan data Astamaops Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Sumut mencatatkan 2.164 kasus premanisme, dengan 1.303 individu diamankan dan 207 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Angka ini menempatkan Sumut sebagai salah satu provinsi dengan prevalensi tertinggi, mencerminkan tantangan struktural seperti urbanisasi cepat dan ketimpangan ekonomi yang memicu rekrutmen preman ke dalam Ormas. Lebih lanjut, data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa tingkat penggunaan narkoba di wilayah ini mencapai 10,49 persen, setara dengan sekitar 1,5 juta jiwa dari total 15 juta penduduk. Desman menyebut angka ini sebagai “sangat rawan,” yang memerlukan penanganan serius melalui kolaborasi lintas lembaga. Dalam konteks ini, premanisme sering kali terinterkoneksi dengan jaringan narkotika, di mana Ormas yang menyimpang berfungsi sebagai fasilitator distribusi, sebagaimana terlihat dalam operasi penertiban tempat hiburan malam yang kerap menjadi sarang peredaran.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan memberikan apresiasi atas upaya sinergis antara Kepolisian Daerah (Polda) Sumut dan Komando Daerah Militer (Kodam) I/Bukit Barisan dalam menanggulangi isu ini. “Bapak Menko Polkam mengapresiasi Polda Sumut, Kodam, dan seluruh stakeholder atas upaya nyata dalam pemberantasan narkoba, termasuk penertiban tempat hiburan malam yang sering disalahgunakan sebagai lokasi peredaran narkotika,” ujar Desman. Apresiasi ini selaras dengan program Asta Cita poin ke-7, yang menjadikan pemberantasan narkoba sebagai prioritas nasional. Dari sudut pandang kebijakan publik, inisiatif ini mendukung model governance kolaboratif, di mana pemerintah pusat, daerah, dan militer bekerja sama untuk mengurangi vulnerabilitas sosial.
Secara keseluruhan, kebijakan sanksi terhadap Ormas berafiliasi premanisme tidak hanya bertujuan menekan pelanggaran langsung, tetapi juga membangun resiliensi masyarakat terhadap ancaman non-tradisional seperti narkotika dan gangguan ketertiban. Namun, implementasinya memerlukan pengawasan ketat untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diperingatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XV/2017 yang menekankan prinsip due process. Di masa depan, pendekatan ini dapat diperkaya dengan penelitian empiris untuk mengukur efektivitasnya dalam mengurangi angka premanisme dan penggunaan narkoba, sehingga berkontribusi pada stabilitas nasional yang berkelanjutan.
Pewarta : Yudha Purnama
