RI News Portal. Jakarta, 11 November 2025 – Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti menekankan urgensi pembaruan kerangka kerja sama ekonomi antara Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dan Jepang guna menghadapi dinamika geoekonomi global yang semakin kompleks. Dalam simposium khusus yang digelar di Jakarta pada Selasa, ia menggarisbawahi bahwa adaptasi aturan dan standar existing menjadi kunci untuk menjaga relevansi hubungan bilateral di era bisnis kontemporer.
“Kerangka kerja kita harus tetap adaptif terhadap perkembangan dunia usaha modern. ASEAN dan Jepang perlu mengeksplorasi pembaruan perjanjian yang ada untuk merespons tantangan baru,” ungkap Roro dalam pidatonya. Ia secara spesifik menyebut Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif ASEAN–Jepang (AJCEP) serta Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) sebagai instrumen utama yang memerlukan evaluasi mendalam.
Pembahasan ini didorong oleh serangkaian pertemuan tingkat menteri ASEAN dengan partisipasi Jepang, yang bertujuan menerjemahkan masukan strategis menjadi kebijakan konkret. Salah satu langkah signifikan adalah pembentukan Satuan Tugas Geoekonomi ASEAN, yang diinisiasi pada pertemuan di Malaysia pada April 2025 dan diformalisasi beberapa bulan kemudian. Satuan tugas ini berfungsi sebagai dewan penasihat yang menilai dampak kebijakan tarif eksternal—khususnya dari Amerika Serikat—terhadap kawasan, sambil mengidentifikasi risiko, peluang, dan rekomendasi untuk memperkuat ketahanan ekonomi.

“Esensi satuan tugas ini adalah memastikan ASEAN tetap bersatu dan berkembang di tengah geopolitik yang rumit,” tegas Roro. Ia menambahkan bahwa inisiatif ini mencerminkan komitmen regional untuk navigasi tantangan emerging melalui aksi kolektif yang efektif.
Lebih jauh, Roro menguraikan empat pilar kolaborasi potensial untuk memperdalam hubungan ekonomi ASEAN-Jepang. Pertama, inovasi dalam ketahanan rantai pasok, yang krusial mengingat kerentanan global pasca-pandemi. Kedua, akselerasi transformasi digital untuk meningkatkan efisiensi perdagangan, termasuk integrasi platform teknologi yang lebih inklusif.
Ketiga, transfer pengetahuan dalam transisi energi, di mana Indonesia memainkan peran sentral. “Sekitar 30 persen emisi nasional Indonesia berasal dari sektor energi. Komitmen kita pada Perjanjian Paris menuntut kolaborasi intensif, dan Jepang dengan keunggulan teknologinya menjadi mitra ideal,” jelasnya. Keempat, penguatan sektor otomotif, di mana Jepang mendominasi sebagai pemimpin global, membuka peluang investasi dan transfer teknologi yang saling menguntungkan.
Roro menutup dengan seruan aksi nyata: “Kita harus melampaui pendekatan konvensional, menghubungkan stakeholder yang tepat, dan memastikan implementasi kebijakan berjalan efektif.” Pernyataan ini menggarisbawahi transisi dari dialog ke eksekusi, terutama dalam konteks hubungan ASEAN-Jepang yang telah berlangsung sejak dialog informal pada 1973 dan formalisasi pada 1977.
Data terkini menunjukkan kekuatan ekonomi kemitraan ini. Pada 2024, perdagangan bilateral mencapai 236,4 miliar dolar AS, sementara investasi langsung Jepang ke ASEAN menyentuh 17,5 miliar dolar AS. Angka-angka ini tidak hanya mencerminkan ketergantungan mutual, tetapi juga potensi ekspansi melalui pembaruan strategis yang diusung Roro.

Dalam analisis akademis, inisiatif seperti Satuan Tugas Geoekonomi dapat dipandang sebagai respons adaptif terhadap teori ketahanan regional dalam studi hubungan internasional. Dengan mengintegrasikan elemen geoekonomi—seperti tarif dan rantai pasok—ke dalam kerangka multilateral, ASEAN-Jepang berpotensi membentuk model baru untuk kawasan Indo-Pasifik yang lebih resilien terhadap guncangan eksternal. Pembaruan ini, jika direalisasikan, akan memperkuat posisi ASEAN sebagai pusat gravitasi ekonomi Asia Tenggara di tengah persaingan global.
Pewarta : Yudha Purnama

