
RI News Portal. Palembang, 25 Juli 2025 — Tim Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kantor Kecamatan Pagar Gunung, Kabupaten Lahat, pada Kamis (24/7/2025). Operasi yang dilaksanakan atas dasar pengawasan ketat terhadap pengelolaan keuangan negara tersebut berhasil mengamankan 22 orang, terdiri atas 20 kepala desa aktif, satu aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan kecamatan, serta satu Ketua Forum Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI).
Menurut keterangan resmi Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumsel, Vanny Yulia Eka Sari, OTT dilakukan menyusul adanya indikasi kuat terjadinya praktik pengumpulan dana secara sistematis dari para kepala desa yang bersumber dari Anggaran Dana Desa (ADD). Dana tersebut diduga dialihkan kepada oknum yang mengatasnamakan aparat penegak hukum (APH), tanpa landasan hukum yang sah dan di luar mekanisme akuntabilitas anggaran pemerintahan desa.
“OTT ini dilakukan atas perintah dan seizin Kepala Kejati Sumsel, menyusul adanya indikasi dana desa yang diselewengkan untuk kepentingan non-pemerintahan dan tidak sesuai prosedur,” tegas Vanny dalam keterangannya kepada media.

ADD merupakan bagian integral dari Dana Desa (DD) yang dialokasikan dalam APBN dan disalurkan kepada desa melalui APBD kabupaten/kota. Pengelolaan ADD diatur dalam berbagai regulasi, antara lain UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. ADD wajib digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pembinaan kemasyarakatan.
Namun dalam praktiknya, kasus OTT di Pagar Gunung mencerminkan kerentanan tata kelola keuangan desa terhadap berbagai bentuk intervensi non-prosedural dan tekanan struktural, termasuk dari pihak-pihak yang mengklaim sebagai representasi institusi hukum.
“Jika benar dana yang dikumpulkan berasal dari ADD, maka ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas publik,” ujar Dr. Rahayu Utami, pakar hukum tata negara Universitas Sriwijaya.
Informasi awal dari Kejati Sumsel menyebut bahwa praktik ini telah dibungkus dalam narasi “kewajiban” kepala desa, yang dalam logika administratif merupakan bentuk penyimpangan terhadap mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Musrenbangdes merupakan forum partisipatif yang menentukan prioritas penggunaan anggaran desa berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, bukan atas dasar permintaan pihak eksternal yang tidak memiliki dasar hukum.
Vanny menegaskan bahwa tindakan OTT ini sekaligus menjadi peringatan keras bagi seluruh kepala desa di Sumatera Selatan untuk tidak menyerah pada tekanan yang melanggar hukum. Kejaksaan, lanjutnya, membuka ruang pendampingan hukum melalui program Jaga Desa, sebagai upaya pencegahan dan edukasi tata kelola yang bersih dan profesional.
“Kami imbau kepala desa agar tidak takut menolak permintaan yang tidak sesuai aturan. Jangan ragu meminta pendampingan hukum kepada Kejaksaan,” seru Vanny.
Hingga berita ini diturunkan, seluruh pihak yang diamankan dalam OTT telah dibawa ke Kantor Kejati Sumsel di Palembang dan tengah menjalani pemeriksaan intensif. Penyidik masih mendalami pola aliran dana, latar belakang permintaan, dan kemungkinan keterlibatan aktor lain di luar struktur desa.
Pengamat kebijakan publik dari Lembaga Kajian Antikorupsi Palembang (LKA-P), Muhammad Azhar, menilai bahwa kasus ini memperlihatkan celah dalam sistem pengawasan keuangan desa, khususnya pada tingkat pelaporan, audit internal, dan penguatan kapasitas SDM aparatur desa.
“OTT ini menunjukkan bahwa korupsi pada level akar rumput tidak hanya disebabkan niat jahat individu, tetapi juga tekanan struktural, lemahnya literasi hukum, dan ketiadaan perlindungan saat menghadapi permintaan tak sah,” ungkap Azhar.
Kasus OTT di Sumatera Selatan ini menambah deretan panjang penyalahgunaan dana desa di Indonesia, dan menjadi momentum reflektif bagi pemerintah daerah, lembaga pengawas, serta masyarakat sipil untuk memperkuat sistem transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan anggaran desa.
Jika tidak segera ditanggulangi secara sistemik—baik melalui penegakan hukum yang tegas, penguatan pengawasan berbasis komunitas, hingga literasi keuangan aparatur desa—potensi korupsi ADD akan terus menggerogoti kepercayaan publik terhadap program pembangunan berbasis desa yang selama ini menjadi tumpuan pemerataan nasional.
Pewarta : Alfika Darwis
