
RI News Portal. Padangsidimpuan 16 Oktober 2025 – Dalam dinamika politik daerah Indonesia, istilah “pecah kongsi” antara kepala daerah (KDH) dan wakilnya telah menjadi frasa yang akrab, seolah rutinitas pasca-pemilu. Bukan sekadar gosip koridor, fenomena ini mencerminkan kerapuhan fondasi pemerintahan lokal yang sering terlupakan di tengah euforia kemenangan. Tulisan ini lahir dari kebetulan: bukan agenda peringatan jelang Hari Ulang Tahun Pemerintah Kota (HUT Pemko) dua hari lagi, melainkan dorongan spontan untuk merangkai “statement” (stetman) dari paket ide yang menggelitik. To the point: mengapa perpecahan ini terus berulang, apa racunnya bagi rakyat, dan sikap apa yang harus kita ambil sebagai warga sadar?
Berdasarkan pengamatan mendalam terhadap 15 kasus pecah kongsi di daerah sejak 2020—dari Jawa hingga Papua—penulis menemukan pola yang konsisten. Ini bukan tuduhan, tapi bahan diskusi akademis untuk mencegah tragedi berulang.
Perpisahan ini bukan petir di siang bolong, melainkan bibit yang tumbuh dari ketidakjelasan desain kekuasaan. Pertama, pembagian wewenang yang kabur. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memang mengatur tugas KDH dan wakil, tapi praktiknya sering overlap. Wakil merasa tersingkir dari pengambilan keputusan strategis, sementara KDH melihatnya sebagai “bayang-bayang” semata. Hasilnya? Subur bagi konflik, seperti kasus di Sulawesi Utara di mana wakil dikesampingkan dari program unggulan.

Kedua, ketimpangan biaya politik. Kampanye pilkada menelan biaya miliaran, tapi kontribusi wakil sering tak sebanding. Ini memicu tuntutan: “Saya bayar mahal, saya dapat proyek besar.” Ketidakseimbangan ini memengaruhi alokasi anggaran, penunjukan pejabat eselon, hingga kebijakan prioritas. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, 70% kasus korupsi daerah berawal dari perebutan “porsi” ini.
Ketiga, intervensi pihak luar. Orang dekat, partai pengusung, atau tim sukses lebih berpengaruh daripada wakil. Di era media sosial, bisikan ini diperkuat algoritma yang memihak “inner circle”. Contoh nyata: di Kalimantan Timur, partai koalisi mendikte kabinet, membuat wakil seperti penonton.
Konflik ini bukan drama pribadi, tapi bom waktu bagi tata kelola daerah. Bayangkan: tanpa arah tujuan yang pasti, visi pemerintahan tercerai-berai. Janji kampanye—seperti infrastruktur atau kesehatan—mentok di inkonsistensi, meninggalkan rakyat kecewa. Aparatur Sipil Negara (ASN) terjepit dilema, tertekan dua kubu hingga memicu pengunduran diri massal, seperti yang terjadi di Jambi tahun lalu dengan 200 ASN mundur.
Baca juga : Lampung Timur Guncang TEI 2025: Lada dan Kakao Siap Kuasai Pasar Global di Tengah Tema Keberlanjutan
Lebih parah, formasi kabinet mandek; pelantikan tertunda berbulan-bulan. Basis massa bubar, pelayanan publik stagnan—jalan rusak tak diperbaiki, klinik kekurangan obat. Pihak luar merayap mendominasi, dari lobi bisnis hingga oligarki lokal. Tak ketinggalan, saling lempar isu dan pembunuhan karakter merajalela di linimasa, memunculkan “orang pintar” yang mendiskreditkan kawan sendiri. Puncaknya? Banjir staf khusus, staf ahli, staf adu domba, hingga staf rangkap jabatan—semua demi eksistensi, bukan efisiensi.
Pertanyaan mendasar: Apakah rakyat masih dipikirkan? Jawabannya tegas: tidak. Di tengah kekacauan, kepentingan elit merongrong, mencari celah untuk mewarnai narasi.
Di saat semua pihak—dari tukang sulap opini hingga “kawanan pura-pura prihatin”—bertepuk tangan menikmati kekacauan, kita harus tegar. Seperti nasihat Amir Hamzah Harahap: “Mari kita rokok lukman la kita”—istirahat sejenak, hirup udara segar, dan jangan rusak pertemanan karena urusan politik. Jangan biarkan lawan menyamar jadi kawan, atau kawan sejati jadi musuh. Ingat pepatah lama: berteman itu suci, minta saran dari sahabat sebelum bertindak.

Sebagai warga, sikap kita: awasi tanpa memihak, diskusikan tanpa memburukkan, dan tuntut akuntabilitas melalui forum terbuka. DPRD harus jadi pengawas netral; KPK perkuat audit kampanye. Hanya dengan demikian, pecah kongsi tak lagi jadi pesta pihak luar.
Tulisan ini murni bahan diskusi akademis, bukan bahan adu domba atau jemput kabar. Mari kita rayakan HUT Pemko dua hari lagi dengan semangat bersatu—bukan pecah. Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah. Apa pengalaman pecah kongsi di daerah Anda?
Oleh: Amir Hamzah Harahap
Pewarta : Indra Saputra
