
RI News Portal. Padangsidimpuan 28 September 2025 – Sekolah Rakyat, sebagai salah satu program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Sosial, mencerminkan upaya ambisius untuk mengatasi ketimpangan sosial melalui pendidikan inklusif bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera dan miskin ekstrem. Program ini, yang mengusung sistem pendidikan berasrama gratis, tidak hanya bertujuan memberikan akses pendidikan, tetapi juga menata ulang pola pikir dan kehidupan anak-anak yang sebelumnya terjebak dalam lingkaran kemiskinan, putus sekolah, dan eksploitasi pekerja anak. Dengan pendekatan multi-entry, Sekolah Rakyat menjadi simbol harapan sekaligus tantangan dalam membangun peradaban bangsa yang lebih adil dan berdaya. Kajian sosial dan sejarah dalam opini ini akan menggali bagaimana program ini mencerminkan transformasi sosial dan rekonstruksi narasi sejarah pendidikan Indonesia.
Sekolah Rakyat sebagai Instrumen Pemberdayaan dan Rekonstruksi Identitas
Dari perspektif sosiologis, Sekolah Rakyat dapat dilihat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat lapisan bawah melalui pendidikan. Pierre Bourdieu (1977) dalam teori cultural capital menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu mekanisme utama untuk mentransfer modal budaya, yang pada gilirannya dapat mengubah posisi sosial seseorang dalam struktur masyarakat. Anak-anak dari keluarga prasejahtera, yang sebelumnya terputus dari akses pendidikan formal akibat kemiskinan atau terlibat sebagai pekerja anak, kini mendapatkan kesempatan untuk memperoleh modal budaya melalui pendidikan gratis yang menyeluruh. Fasilitas seperti seragam, makanan, tempat tinggal, dan alat kebersihan diri menghilangkan hambatan ekonomi yang selama ini menjadi penghalang utama.

Namun, tantangan besar muncul dalam proses adaptasi sosial. Sistem pendidikan berasrama dengan aturan ketat, seperti larangan penggunaan gadget dan jadwal harian yang terstruktur, menciptakan pergeseran drastis dari kebebasan yang sebelumnya dirasakan anak-anak ini. Fenomena ini dapat dianalisis melalui konsep habitus Bourdieu, yaitu pola perilaku dan pemikiran yang telah tertanam akibat lingkungan sosial sebelumnya. Bagi anak-anak yang terbiasa dengan kehidupan jalanan atau kebebasan tanpa pengawasan, peraturan ketat di Sekolah Rakyat dapat memicu resistensi awal, sebagaimana terlihat dari tangisan dan ketidaknyamanan mereka. Proses “menyetel ulang” mindset, seperti yang disebutkan, adalah upaya untuk membentuk habitus baru yang selaras dengan nilai-nilai pendidikan dan disiplin.
Selain itu, Sekolah Rakyat juga berperan dalam rekonstruksi identitas sosial anak-anak ini. Dengan mengembalikan mereka ke lingkungan pendidikan, program ini tidak hanya memberikan keterampilan akademik, tetapi juga mengembalikan martabat mereka sebagai anak-anak yang berhak atas masa depan yang lebih baik. Ini sejalan dengan teori social inclusion (Silver, 1994), yang menekankan pentingnya mengintegrasikan kelompok marginal ke dalam struktur sosial melalui akses terhadap hak-hak dasar, termasuk pendidikan.
Sekolah Rakyat dalam Konteks Pendidikan Nasional
Secara historis, Sekolah Rakyat dapat dilihat sebagai kelanjutan dari semangat pendidikan rakyat yang telah ada sejak era perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa kolonial Belanda, Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 1922 menjadi tonggak pendidikan rakyat yang menekankan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk masyarakat pribumi yang termarginalkan. Semangat ini dilanjutkan pada masa awal kemerdekaan melalui Sekolah Rakyat (SR) yang didirikan untuk memberikan akses pendidikan dasar bagi masyarakat luas, terutama di pedesaan.
Baca juga : Wakil Menteri Pertanian Dorong Kolaborasi Lintas Daerah untuk Percepat Pembangunan Irigasi
Sekolah Rakyat era Presiden Prabowo Subianto membawa semangat serupa, namun dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan berfokus pada kelompok paling rentan, yaitu anak-anak prasejahtera dan pekerja anak. Program ini dapat dilihat sebagai respons terhadap kegagalan sistemik dalam sistem pendidikan nasional sebelumnya, di mana angka putus sekolah masih tinggi di kalangan keluarga miskin. Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa sekitar 10% anak usia sekolah di Indonesia tidak melanjutkan pendidikan karena faktor ekonomi, sebuah masalah yang coba dijawab oleh Sekolah Rakyat.
Lebih jauh, Sekolah Rakyat juga mencerminkan pergeseran paradigma dalam kebijakan pendidikan Indonesia. Jika pada era Orde Baru pendidikan sering kali terpusat dan elitis, program ini menunjukkan pendekatan yang lebih inklusif dan berorientasi pada keadilan sosial. Dengan demikian, Sekolah Rakyat tidak hanya menjadi alat pemberdayaan, tetapi juga penanda sejarah baru dalam upaya negara untuk memenuhi amanat konstitusi, khususnya Pasal 31 UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara atas pendidikan.
Tantangan dan Prospek
Meskipun memiliki visi yang mulia, Sekolah Rakyat menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, resistensi awal dari anak-anak terhadap sistem berasrama menunjukkan perlunya pendekatan psikologis yang lebih intensif dalam proses adaptasi. Pendampingan konseling dan pendekatan yang berbasis trauma-informed care dapat membantu anak-anak mengatasi perasaan tertekan akibat perubahan drastis dalam kehidupan mereka. Kedua, larangan total penggunaan gadget, meskipun bertujuan untuk meningkatkan fokus belajar, dapat mempersulit anak-anak untuk beradaptasi dengan dunia digital yang kini menjadi bagian integral dari pendidikan dan pekerjaan. Pendekatan yang lebih seimbang, seperti pembelajaran literasi digital yang terkontrol, mungkin dapat dipertimbangkan.

Dari sisi prospek, keberhasilan Sekolah Rakyat, seperti yang terlihat dari 100 titik yang telah beroperasi, termasuk SRMA 30 Padangsidimpuan, menunjukkan potensi skalabilitas program ini. Jika dikelola dengan baik, program ini dapat menjadi model bagi pendidikan inklusif di negara-negara berkembang lainnya. Selain itu, keberhasilan anak-anak ini dalam mencapai cita-cita mereka akan menjadi bukti nyata bahwa investasi pada pendidikan kelompok marginal dapat menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan.
Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan, tetapi juga wujud transformasi sosial yang bertujuan memutus lingkaran kemiskinan dan marginalisasi. Dari perspektif sosial, program ini memberikan harapan baru bagi anak-anak prasejahtera untuk memperoleh modal budaya dan identitas sosial yang lebih kuat. Dari sisi sejarah, Sekolah Rakyat melanjutkan semangat pendidikan rakyat yang telah dirintis sejak era Taman Siswa, sekaligus menjadi penanda baru dalam perjuangan Indonesia untuk mencapai keadilan pendidikan. Meskipun menghadapi tantangan, khususnya dalam proses adaptasi anak-anak, program ini memiliki potensi besar untuk menjadi tonggak peradaban bangsa. Dengan pendekatan yang tepat, Sekolah Rakyat dapat menjadi bukti bahwa setiap tetes air mata harapan dari orang tua dan senyum kebahagiaan anak-anak adalah investasi bagi masa depan Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Pewarta : Indra Saputra
