
RI News Portal. Jakarta – Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali menegaskan komitmennya untuk melanjutkan proyek normalisasi Kali Ciliwung. Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menyatakan bahwa pengerjaan fisik akan dimulai pada 2026, setelah proses penetapan lokasi dan pembebasan lahan dipersiapkan.
“Normalisasi Kali Ciliwung sudah kita siapkan berkali-kali. Pada 2026 dari sisi PU akan mulai kerja, karena dari penetapan lokasi segala macam, Pak Gubernur sudah mulai selesaikan,” ujar Dody saat ditemui di Balai Kota Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Sejalan dengan itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menambahkan bahwa pemerintah provinsi telah menandatangani empat penetapan lokasi (penlok) untuk pembebasan lahan. Keempat titik itu adalah Cawang, Cililitan, Pengadegan, dan Rawajati. “Kami sudah konsultasi dengan Kementerian PAN-RB dan PUPR. Mudah-mudahan sesuai dengan yang kita rencanakan,” kata Pramono.

Pramono sebelumnya menekankan bahwa Sungai Ciliwung menyumbang sekitar 40 persen potensi banjir di Ibu Kota. Hal ini menjadikan program normalisasi sebagai prioritas jangka menengah, meskipun proyek ini sudah bergulir sejak era Gubernur Joko Widodo lebih dari satu dekade lalu. Namun, implementasi berulang kali tersendat, terutama karena resistensi warga bantaran sungai dan kompleksitas relokasi.
Data terbaru Dinas Sumber Daya Air (SDA) Provinsi Jakarta per Juli 2025 menunjukkan panjang rencana tanggul normalisasi mencapai 33,69 kilometer. Dari jumlah itu, baru 17,14 km yang selesai dikerjakan, sementara 16,55 km lainnya masih tertunda. Untuk periode 2025–2027, terdapat 14 lokasi prioritas pembebasan lahan, di antaranya Kebon Manggis, Kampung Melayu, Bidara Cina, Manggarai, Bukit Duri, Kebon Baru, Balekambang, Gedong, Pejaten Timur, hingga Tanjung Barat.
Normalisasi bukan hanya soal teknis pembangunan, tetapi juga urusan fiskal dan politik. Kepala Dinas SDA DKI Jakarta, Ika Agustin Ningrum, pada Mei lalu menyebut pihaknya menyiapkan anggaran awal Rp98 miliar. Besaran ini masih berpotensi bertambah dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBDP) 2025 bersama DPRD. “Progres pertama yang akan kita laksanakan ada di segmen Pengadegan,” ungkap Ika.
Namun, di balik angka-angka tersebut, masih mengintai tantangan sosial. Relokasi warga bantaran sungai kerap menjadi isu krusial yang berimplikasi pada hak atas perumahan, kompensasi lahan, hingga dinamika politik lokal. Tanpa penyelesaian yang partisipatif, program normalisasi berpotensi kembali mengalami stagnasi.
Baca juga : Wapres Gibran Melayat Korban Demonstrasi: Isyarat Politik, Empati Negara, dan Tanggung Jawab Sosial
Dari perspektif kebijakan publik, proyek normalisasi Kali Ciliwung menggambarkan hubungan erat antara kebijakan infrastruktur dan manajemen risiko bencana perkotaan. Selain fungsi teknis sebagai pengendali banjir, kebijakan ini juga menguji efektivitas tata kelola kolaboratif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan warga terdampak.
Jika proyek benar-benar berjalan pada 2026, keberhasilan tidak hanya diukur dari panjang tanggul yang selesai, melainkan juga sejauh mana proses relokasi dilakukan secara adil dan transparan. Tanpa itu, normalisasi Ciliwung berisiko menjadi proyek infrastruktur yang berulang kali diumumkan, namun tertahan oleh persoalan sosial yang tak kunjung terselesaikan.
Pewarta : Yogi Hilmawan
