RI News Portal. Tel Aviv, 2 Desember 2025 – Di tengah hiruk-pikuk demonstrasi di luar gedung Pengadilan Distrik Tel Aviv, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melangkah masuk untuk pertama kalinya sejak mengajukan permintaan grasi atas dakwaan korupsi yang telah membayangi kariernya selama bertahun-tahun. Penampilan ini, yang berlangsung pada Senin pagi, bukan hanya rutinitas hukum, melainkan simbol dari perpecahan mendalam yang kini mengguncang fondasi demokrasi Israel. Sementara Netanyahu meminta penundaan sidang dengan alasan urusan diplomatik dan keamanan, hakim pengadilan menolak menyentuh isu grasi, meninggalkan ruang bagi spekulasi tentang nasib proses peradilan yang telah berlangsung selama enam tahun.
Permintaan grasi Netanyahu, yang diajukan sehari sebelumnya kepada Presiden Isaac Herzog, datang sebagai pukulan telak bagi para pengkritiknya. Dalam surat resminya, Netanyahu menegaskan keyakinannya akan pembebasan penuh jika sidang dilanjutkan, namun ia berargumen bahwa kelanjutan proses hukum justru merusak kemampuannya memimpin negara di tengah krisis keamanan yang berkepanjangan. “Sidang ini merobek kita dari dalam, memprovokasi perpecahan sengit, dan memperdalam jurang di masyarakat,” tulisnya, menekankan bahwa grasi akan menjadi langkah demi kepentingan nasional. Namun, tanpa pengakuan kesalahan, permintaan ini langsung memicu gelombang protes: kelompok-kelompok sipil berkumpul di depan kediaman presiden, mengenakan seragam oranye ala tahanan, menuntut agar Herzog menolak apa yang mereka sebut sebagai upaya menghindari tanggung jawab.

Dari perspektif hukum, langkah Netanyahu ini menantang preseden langka di Israel. Tradisi grasi biasanya diberikan hanya setelah vonis bersalah, seperti kasus Bus 300 tahun 1986 yang melibatkan agen intelijen Shin Bet. Para ahli hukum, termasuk analis dari Israel Democracy Institute, memperingatkan bahwa grasi pra-vonis tanpa pengakuan kesalahan bisa membuka pintu bagi erosi supremasi hukum. “Ini bukan sekadar kasus individu, tapi ujian bagi integritas institusi kita,” kata seorang pakar hukum konstitusional yang enggan disebut namanya, mengingatkan bahwa presiden memiliki wewenang mutlak untuk grasi, tapi harus mempertimbangkan opini dari kementerian kehakiman. Herzog sendiri menyebut permintaan ini “luar biasa” dengan “implikasi signifikan,” dan berjanji untuk mempertimbangkannya setelah mengumpulkan masukan ahli—sebuah proses yang bisa memakan waktu berminggu-minggu.
Netanyahu menghadapi tiga dakwaan terpisah yang saling terkait, masing-masing mengungkap dugaan pertukaran kekuasaan politik dengan keuntungan pribadi. Kasus 1000 menyoroti penerimaan hadiah mewah—seperti perhiasan dan botol-botol anggur langka senilai ratusan ribu dolar—dari pengusaha kaya sebagai imbalan bantuan regulasi pemerintah. Keluarga Netanyahu dituduh menerima barang-barang ini secara rutin, menciptakan jaringan patronase yang melanggar norma etika publik. Sementara itu, Kasus 2000 menggambarkan negosiasi rahasia dengan penerbit koran terkemuka, di mana Netanyahu diduga menjanjikan legislasi yang menguntungkan surat kabar tersebut demi liputan yang lebih ramah terhadap dirinya. Ini bukan hanya soal pengaruh media, tapi tentang bagaimana pemimpin negara bisa memanipulasi narasi publik untuk mempertahankan kekuasaan.
Baca juga : Polres Wonogiri Perkuat Siaga Bhayangkara Hadapi Ancaman Cuaca Ekstrem Akhir Tahun
Kasus paling rumit, nomor 4000, menyeret Netanyahu ke dalam skandal telekomunikasi: tuduhan bahwa ia memberikan persetujuan regulasi menguntungkan kepada pemilik perusahaan Bezeq, Shaul Elovitch, sebagai balasan atas liputan positif di situs berita Walla! miliknya. Bukti-bukti yang muncul selama sidang menunjukkan pola pertukaran ini bukan kebetulan, melainkan strategi sistematis untuk membentuk opini publik. Netanyahu membantah semua tuduhan, menyebutnya sebagai “perburuan penyihir” yang direkayasa oleh media, polisi, dan yudikatif yang bias. “Saya percaya proses ini akan berakhir dengan pembebasan total,” katanya dalam pernyataan video pendek, meski para jaksa menyoroti kontradiksi dalam kesaksiannya baru-baru ini, di mana ia kesulitan menjelaskan hubungannya dengan Elovitch.
Reaksi politik tak terelakkan. Sekutu Netanyahu di koalisi sayap kanan, seperti Menteri Pertahanan Israel Katz, memuji permintaan grasi sebagai cara untuk “menyembuhkan perpecahan yang lahir dari dosa.” Menteri Keuangan Bezalel Smotrich bahkan menyebut proses hukum sebagai “penganiayaan oleh sistem yudikatif yang korup.” Di sisi lain, oposisi seperti pemimpin Yesh Atid Yair Lapid menolak keras, menuntut pengakuan kesalahan, penyesalan, dan pensiun dari politik sebagai syarat mutlak. “Grasi tanpa itu hanyalah pengkhianatan terhadap hukum,” tegas Lapid, mencerminkan suara ribuan demonstran yang melihat Netanyahu sebagai simbol korupsi yang menggerogoti kepercayaan publik. Bahkan mantan sekutu seperti Benny Gantz menyebutnya “palsu,” menuduh Netanyahu justru memperburuk api perpecahan yang ia nyalakan sendiri.

Lebih luas, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keseimbangan kekuasaan di Israel. Di tengah perang berkepanjangan dengan kelompok-kelompok di Gaza dan Lebanon, serta ancaman dari Iran, sidang Netanyahu telah menjadi distraksi nasional yang melelahkan. Kritikus berargumen bahwa grasi bisa melemahkan akuntabilitas pemimpin, sementara pendukungnya melihatnya sebagai kebutuhan untuk stabilitas. Seorang pengamat politik dari Universitas Tel Aviv menambahkan, “Ini bukan akhir dari sidang, tapi awal dari perdebatan tentang apa artinya menjadi pemimpin di negara yang lahir dari abu Holocaust—apakah kekuasaan harus tak tersentuh, atau justru diawasi ketat?”
Saat hakim mempertimbangkan permintaan penundaan Netanyahu hingga Selasa—dengan alasan “komitmen diplomatik dan keamanan” yang tak dirinci—masyarakat Israel menahan napas. Apakah grasi akan disetujui, atau sidang akan berlanjut hingga vonis akhir yang berpotensi mengirim Netanyahu ke penjara? Yang jelas, perpecahan ini telah memperlemah fondasi bangsa, mengingatkan bahwa bahkan di negara demokrasi termuda, godaan kekuasaan bisa menguji batas keadilan. Pengamat internasional, termasuk dari Amerika Serikat, kini mengawasi dengan cermat, karena nasib Netanyahu bisa memengaruhi dinamika Timur Tengah yang rapuh.
Pewarta : Setiawan Wibisono

