
RI News Portal. Wonogiri — Di tengah denyut pembangunan, Monumen Perjuangan Nilai-Nilai 45 yang berdiri kokoh di pusat Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, memendam sejarah perlawanan rakyat dan tentara Republik Indonesia terhadap Agresi Militer Belanda II. Lebih dari sekadar tugu, situs ini merupakan simbol kolektif memori perjuangan, meski sebagian kisahnya kini terancam pudar.
Berdasarkan penuturan warga Jatisrono, Sudiyarso, kepada RI News (3/8/2025), peristiwa heroik itu melibatkan konfrontasi langsung antara tentara Belanda yang mencoba masuk wilayah Jatisrono dengan tentara dan rakyat Indonesia yang melakukan perlawanan di lokasi yang kini berdiri Monumen Tugu Bintang. Pertempuran sengit pecah, mengakibatkan gugurnya delapan pejuang Indonesia yang kemudian dimakamkan tidak jauh dari lokasi kejadian.
Namun, tragedi historis ini justru mengalami pengaburan. Sudiyarso, yang juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Wonogiri, menyayangkan bahwa nama-nama para pahlawan gugur yang dahulu tertulis di dinding monumen telah tertutup keramik saat proses renovasi. “Upaya pelacakan kini menjadi sulit. Identitas para pahlawan yang gugur seperti terhapus dari ingatan kolektif,” ujarnya.

Tugu Bintang sendiri dibangun sebagai bentuk penghormatan atas peristiwa pertempuran tersebut. Selain itu, Jatisrono dikenal sebagai salah satu jalur gerilya penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, terutama dalam lintasan perjalanan Jenderal Soedirman. Jejak historis tersebut bahkan terhubung secara geografis dan simbolik dengan monumen besar Jenderal Soedirman di Nawangan, Pacitan, yang menjadi titik akhir rute gerilya legendaris itu.
Di area monumen, ditemukan pula delapan makam pahlawan yang hingga kini tanpa nama. Makam tersebut berada di sebelah utara jembatan yang dikenal masyarakat sebagai “Jembatan Pahlawan.” Sayangnya, tidak satu pun nama tertulis di area makam maupun monumen, diduga hilang akibat renovasi tanpa dokumentasi historis yang memadai.
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, makam tersebut tampak bersih dan terawat. Pelaksana Tugas Camat Jatisrono, Danang Sugiyatmoko, S.ST., M.M., menegaskan bahwa makam pahlawan tetap menjadi prioritas perawatan dan ziarah tahunan. “Setiap menjelang 17 Agustus, selalu dilakukan pembersihan dan pengecatan. Ziarah juga rutin dilakukan setelah upacara bendera,” terang Danang.
Baca juga : Memeriahkan HUT RI ke-80: Jaranan “Kridho Samudro” Menyatukan Warga Trenggalek
Kondisi ini membuka ruang refleksi penting dalam konteks etika peringatan sejarah: bagaimana kita sebagai bangsa memperlakukan situs perjuangan dan jejak para pahlawan? Renovasi fisik tidak seharusnya menghapus identitas, apalagi dalam narasi sejarah yang menjadi fondasi identitas bangsa.
Dalam studi memorialisasi perjuangan, penghilangan nama dari monumen dapat dianggap sebagai bentuk amnesia kolektif yang sistemik. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi potensi kekosongan sejarah yang dapat menciptakan distorsi naratif di masa depan.
Kisah Monumen Nilai-Nilai 45 di Jatisrono harus menjadi peringatan bahwa pelestarian situs perjuangan bukan sekadar soal merawat fisik bangunan, tetapi juga menjaga nama, cerita, dan makna dari para pelaku sejarah. Sebab bangsa yang besar, adalah bangsa yang tidak hanya menghormati para pahlawannya, tapi juga tidak menghapus jejaknya.
Pewarta : Nandar Suyadi
