RI News Portal. Jakarta – Menteri Kebudayaan Republik Indonesia menyatakan dukungan penuh terhadap gagasan kolaborasi internasional yang diajukan Guru Besar Arkeologi Maritim dari Flinders University, Australia, Dr Martin Polkinghorne, terkait restitusi dan repatriasi benda-benda cagar budaya bawah air yang selama ini terpisah dari konteks asalnya.
Dalam pernyataan resmi yang diterima di Jakarta pada Jumat (21/11/2025), Menteri menegaskan bahwa inisiatif bertajuk “Reuniting Orphaned Cargoes: Recovering Cultural Knowledge from Salvaged and Dispersed Underwater Cultural Heritage in Southeast Asia” ini selaras dengan agenda nasional di bidang restitusi, repatriasi, dan restorasi objek budaya yang secara sah merupakan milik Indonesia.
“Langkah ini tidak hanya memperkuat ikatan diplomatik budaya, tetapi juga membuka ruang bagi pengembangan ekosistem permuseuman yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” ujar Menteri.

Proyek yang dipimpin Martin Polkinghorne menitikberatkan pada tiga pilar utama:
- Komitmen restitusi artefak kapal karam ke negara asal melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga internasional;
- Perluasan akses riset arkeologi maritim bagi generasi muda Indonesia;
- Peningkatan kapasitas museum nasional dan daerah dalam mengelola serta menyajikan koleksi bawah air untuk mendukung pariwisata budaya yang berkelanjutan.
Penelitian yang dilakukan Martin bersama arkeolog maritim Indonesia, Nia Naelul Hasanah Ridwan dan Zainab Tahir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, telah menghasilkan temuan signifikan di situs-situs seperti Pulau Belitung dan Kepulauan Riau. Koleksi keramik Tiongkok abad ke-9 hingga abad ke-18 yang ditemukan di lokasi-lokasi tersebut diyakini terkait langsung dengan jalur perdagangan rempah Nusantara yang menjadi nadi peradaban maritim dunia pada masanya.
“Flinders University saat ini menyimpan sejumlah keramik peninggalan Indonesia yang diperoleh melalui penelitian resmi. Kami berkomitmen mengembalikan artefak-artefak tersebut sekaligus membangun narasi bersama tentang jalur rempah Indonesia yang selama ini kurang tergali,” kata Martin Polkinghorne.
Baca juga : Pengabaian K3 dan Kejanggalan Tender Tunggal Warnai Pembangunan Poskesdes Mosa Gunung Baringin
Lebih jauh, proyek ini diarahkan untuk menghasilkan efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi masyarakat lokal. Lokakarya interpretasi artefak, pelatihan pemandu wisata bawah air, serta pengembangan museum komunitas di sekitar situs kapal karam diproyeksikan menjadi sumber pendapatan alternatif yang ramah lingkungan.
Menteri Kebudayaan menambahkan bahwa pihaknya sedang merumuskan skema kerja sama jangka panjang yang melibatkan tidak hanya Flinders University, tetapi juga jaringan universitas dan lembaga penelitian di Indonesia. “Kami ingin memastikan setiap artefak yang kembali tidak hanya menjadi benda pajang, tetapi juga menjadi medium pendidikan, identitas, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir,” tegasnya.

Inisiatif ini menjadi salah satu tonggak penting dalam upaya Indonesia merebut kembali narasi sejarah maritimnya sekaligus memposisikan warisan bawah air sebagai aset strategis di era pariwisata pasca-pandemi yang semakin mengarah pada pengalaman autentik dan berkelanjutan.
Dengan semakin banyaknya negara di kawasan Asia Tenggara yang mulai serius menangani isu “orphaned cargoes”, kolaborasi Indonesia–Australia ini berpotensi menjadi model bagi diplomasi budaya maritim di abad ke-21.
Pewarta : Yudha Purnama

