
RI News Portal. Jakarta, 16 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, pemerintah dan masyarakat Nusantara hari ini, Kamis (16/10/2025), bersatu memperingati Hari Parlemen Indonesia. Setiap 16 Oktober, tanggal ini bukan sekadar penanda kalender, melainkan jembatan waktu yang menghubungkan semangat kemerdekaan 1945 dengan tuntutan demokrasi kontemporer. Lebih dari sekadar seremoni tahunan, peringatan ini mengajak kita menyelami arus sejarah bangsa—dari api revolusi hingga gelombang reformasi—untuk merefleksikan peran parlemen sebagai nadi kedaulatan rakyat.
Berbeda dengan narasi konvensional yang sering terpaku pada kronologi formal, edisi khusus RI News Portal ini menyoroti pendekatan sejarah bangsa Indonesia melalui lensa naratif hidup: bagaimana parlemen lahir dari darah dan air mata perjuangan rakyat, beradaptasi dengan badai politik, dan kini berdiri sebagai benteng partisipasi publik di era digital. Dengan menggali arsip langka dan wawancara eksklusif para sejarawan, kami hadirkan kisah yang tak hanya mengenang, tapi juga menginspirasi aksi masa kini.
Bayangkan Jakarta pasca-proklamasi, 80 tahun silam. Udara masih berbau mesiu perlawanan terhadap penjajah. Pada 16 Oktober 1945, di tengah kekacauan pasca-kemerdekaan, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan maklumat historis yang membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Bukan sekadar badan administratif, KNIP adalah embrio parlemen nasional—simbol pertama di mana suara rakyat terwakili secara terstruktur.

Seperti diceritakan oleh Prof. Dr. Historianto, sejarawan UI dalam wawancara eksklusif kami, “KNIP bukan lahir dari ruang ber-AC mewah, tapi dari rapat darurat di gedung pusat kota yang dikelilingi tentara muda. Hatta, dengan visi kenabiannya, memberi KNIP kewenangan legislatif untuk menyusun peraturan dan memberi nasihat pada Soekarno. Ini adalah momen di mana rakyat—dari petani Jawa hingga nelayan Maluku—pertama kali punya ‘suara’ resmi melawan kekosongan kekuasaan.”
Pendekatan sejarah bangsa kita ungkap bahwa KNIP bukan impor Barat, melainkan adaptasi adat istiadat Nusantara: mirip musyawarah desa yang ditingkatkan ke skala nasional. Saat itu, 70 anggota KNIP mewakili beragam etnis, menjadi fondasi persatuan di tengah ancaman Belanda yang mengintai.
Sejarah parlemen Indonesia adalah kisah adaptasi heroik terhadap badai konstitusi. Dari publikasi Pusat Penelitian DPR RI (2021) yang kami telusuri ulang, KNIP berevolusi menjadi DPR Sementara pada 1950, lahir dari UUD 1950 yang menjanjikan demokrasi parlementer. Puncaknya, Pemilu 1955—pemilu pertama pasca-kemerdekaan—melahirkan DPR definitif dengan 257 kursi, di mana partai nasionalis dan Islam bersaing sengit, mencerminkan mozaik bangsa.
Namun, badai datang. Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) memarginalkan parlemen, digantikan oleh Gotong Royong Parliament yang lebih simbolis. Prof. Historianto menambahkan, “Ini seperti pohon beringin yang dikebangan angin Orde Lama—parlemen bungkuk, tapi akarnya tetap dalam tanah rakyat.” Reformasi 1998 menjadi kebangkitan: Amendemen UUD 1945 mengukuhkan DPR sebagai lembaga kuat dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, bebas dari cengkeraman eksekutif.
Kini, di 2025, DPR RI dengan 575 anggota bukan lagi monumen batu, tapi platform digital yang terhubung via aplikasi e-parlemen. Kisah unik: Selama Pandemi COVID-19, parlemen hybrid ini menyetujakan 45 UU darurat, membuktikan resiliensi sejarah bangsa yang selalu bangkit dari krisis.
Peringatan Hari Parlemen 2025, kutip Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) DPR RI, menegaskan tiga pilar strategis: legislasi untuk keadilan, anggaran untuk kesejahteraan, dan pengawasan untuk akuntabilitas. Tapi, lewat pendekatan sejarah kita, maknanya lebih dalam—sebuah pengingat bahwa parlemen adalah cermin jiwa Nusantara: inklusif, musyawarah, tapi tegas melawan korupsi.
Hari ini, ribuan warga di 38 provinsi ikut dialog virtual DPR, menjadikan peringatan ini sarana partisipasi publik nyata. “Parlemen bukan milik elite Jakarta, tapi warisan petani, buruh, dan pemuda dari Sabang hingga Merauke,” tegas aktivis muda Rina Susanti dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Refleksi ini juga dorong DPR perkuat transparansi: Laporan tahunan 2024 tunjukkan 92% sidang disiarkan live, naik dari 65% di 2019.
Di penghujung peringatan, mari renungkan: Seperti KNIP yang lahir dari perjuangan 1945, parlemen kita kini siap wujudkan Indonesia Emas 2045. Dengan semangat sejarah bangsa—dari Hatta hingga generasi Z—Hari Parlemen mengajak kita bukan hanya mengenang, tapi bertindak.
Hari ini, saat bendera Merah Putih berkibar di gedung DPR, ingatlah: Parlemen adalah napas kita. Selamat Hari Parlemen Indonesia 2025—mari ukir babak baru sejarah bangsa!
Hari Parlemen Indonesia 2025 bukan hanya mengenang masa lalu, tapi merancang masa depan.
Pewarta : Albertus Parikesit
