
RI News Portal. Sipaholon, Tapanuli Utara — Dalam upaya memperkuat identitas budaya dan meningkatkan daya saing produk lokal, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, mendorong penguatan Kacang Sihobuk sebagai ikon budaya Tapanuli yang layak menembus pasar nasional hingga internasional. Hal ini disampaikannya dalam kegiatan diseminasi strategi pemasaran pariwisata di Sipaholon, Tapanuli Utara, pada Selasa (29/7/2025).
Menurut Lamhot, Kacang Sihobuk bukan sekadar produk pangan, tetapi juga merepresentasikan kekayaan sejarah, kearifan lokal, dan daya inovasi masyarakat Tapanuli. “Kacang Sihobuk adalah brand lokal yang memiliki kekuatan cerita dan sejarah. Kita punya kualitas, punya cerita, dan punya pasar,” tegasnya.
Kacang Sihobuk dikenal luas di kawasan Sumatera sebagai oleh-oleh khas yang dijual di jalur-jalur wisata dan terminal, terutama karena proses pengolahannya yang unik: dipanggang dengan pasir panas. Teknik tradisional ini merupakan bagian dari warisan budaya kuliner yang telah dikenal sejak puluhan tahun lalu.

Namun, Lamhot menilai, meski memiliki rekam jejak panjang dan cita rasa khas, positioning produk ini masih terlalu tradisional. “Selama ini Kacang Sihobuk dikenal sebagai jajanan pinggir jalan atau oleh-oleh terminal. Ini belum cukup untuk menopangnya sebagai identitas budaya dan kekuatan ekonomi daerah,” katanya.
Lamhot menekankan pentingnya pendekatan strategis dalam mengangkat produk lokal. Ia mengusulkan tiga pilar utama: modernisasi kemasan, penguatan narasi berbasis budaya, dan pemasaran digital. “Ini tantangan kita bersama untuk membuatnya lebih modern dalam kemasan, kuat dalam cerita, dan luas dalam pasar,” tegasnya.
Dalam konteks ini, transformasi digital memainkan peran penting. Narasi berbasis budaya harus dikemas dalam konten kreatif di media sosial, video promosi, hingga platform e-commerce. Strategi ini tidak hanya relevan secara pemasaran, tetapi juga memperkuat diplomasi budaya daerah.
Baca juga : Koperasi Merah Putih Desa Kopen Dorong Ketahanan Pangan Berbasis Kakao dan Produk Lokal
Dorongan Lamhot juga menyentuh aspek tata kelola dan kemitraan. Ia menyerukan adanya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, pelaku UMKM, serta komunitas lokal untuk memperkuat branding dan daya saing produk. “Warisan ini tidak akan lestari kalau tidak ada inovasi dan perhatian serius,” ujarnya.
Dalam hal ini, dukungan regulatif dan fasilitatif dari pemerintah sangat penting, termasuk program inkubasi bisnis, pembinaan UMKM berbasis budaya, dan akses pembiayaan mikro. Kemitraan usaha dengan pelaku industri kreatif dan retail modern juga dibutuhkan agar produk lokal seperti Kacang Sihobuk bisa masuk ke dalam etalase nasional—bahkan global.
“Tidak cukup hanya dikenal di rest area. Sudah waktunya Kacang Sihobuk tampil di toko oleh-oleh bandara, minimarket nasional, hingga platform e-commerce global,” pungkas Lamhot.
Kacang Sihobuk dapat diposisikan sebagai cultural commodity yang menjembatani antara nilai-nilai tradisional dan tantangan ekonomi kontemporer. Sebagai produk berbasis budaya, ia tidak hanya membawa nilai ekonomi, tetapi juga menjadi bagian dari narasi identitas daerah dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
Mendorong Kacang Sihobuk naik kelas berarti juga mendobrak dikotomi antara budaya dan industri, tradisi dan modernitas. Tantangannya adalah menjaga otentisitas sembari membuka diri terhadap inovasi dan pasar global—sebuah pendekatan yang harus didukung dengan kebijakan holistik, inklusif, dan berbasis kearifan lokal.
Pewarta : Adi Tanjoeng
