
RI News Portal. Jakarta, 20 September 2025 – Di tengah dinamika tata kelola negara yang semakin kompleks, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menegaskan peran krusial pelaku usaha dalam memperkuat fondasi peradaban HAM di Indonesia. Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, di mana negara berhak menuntut kontribusi aktif dari sektor swasta.
Dalam keterangan tertulis yang dirilis dari Jakarta pada hari Sabtu ini, Pigai menguraikan visi pembangunan HAM sebagai “roh” yang menghidupkan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. “Kita bangun HAM dalam konteks peradaban HAM itu dengan membangun peradaban budaya pengelolaan politik. Kemudian dengan disemangati oleh spirit roh HAM itu sendiri,” ujarnya. Pendekatan ini, menurut Pigai, bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan transformasi budaya yang mendalam, yang mengintegrasikan nilai-nilai HAM ke dalam pola pikir kolektif masyarakat.
Pigai menekankan bahwa inisiatif ini harus berakar dari tingkat masyarakat paling dasar. Pemerintah, katanya, sedang gencar mendorong pembentukan “desa sadar HAM” di seluruh penjuru negeri sebagai langkah awal. “Membangun peradaban HAM adalah membangun masyarakat Indonesia yang sadar akan hak asasi manusia. Maka kita bangun desa sadar HAM di seluruh Indonesia dan kita targetkan ribuan desa sadar HAM,” jelasnya. Konsep desa sadar HAM ini dirancang untuk menjadi pondasi ontologis—cara berpikir—serta epistemologis—cara berucap—dan aksiologis—cara bertindak—berdasarkan nilai kemanusiaan. Dengan demikian, desa-desa ini diharapkan menjadi model mikro yang merefleksikan komitmen nasional terhadap HAM, memengaruhi perilaku sehari-hari warga hingga kebijakan lokal.

Lebih lanjut, Pigai menyoroti pentingnya penerapan prinsip HAM di dunia usaha, di mana perusahaan tidak hanya dilihat sebagai entitas ekonomi, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. “Begitu ada desa sadar HAM terbangun, sebenarnya orientasinya adalah membangun peradaban HAM dalam konteks ontologisnya, cara berpikirnya. Kemudian epistemologisnya, cara ucapnya, dan aksiologisnya, cara bertindaknya,” tambahnya. Pendekatan ini mengajak pelaku bisnis untuk menilai risiko operasional mereka melalui lensa HAM, memastikan bahwa aktivitas ekonomi tidak merugikan hak-hak dasar manusia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, mengungkapkan langkah konkret yang sedang disiapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (KemenHAM). Regulasi baru berupa surat edaran akan segera diterbitkan sebagai panduan bagi perusahaan dalam mengevaluasi risiko bisnis mereka terkait HAM. “Kedepannya kita sudah menyiapkan surat edaran terbaru yang nanti menjadi pedoman bagi perusahaan untuk memberikan penilaian risiko bisnisnya. Sudah ada panduannya di surat edaran itu,” kata Munafrizal.
Baca juga : Dukungan Militer AS ke Israel di Tengah Badai Isolasi Global: Analisis Geopolitik di Balik Paket $6 Miliar
Tak berhenti di situ, KemenHAM juga merancang indikator penilaian khusus untuk pelaku usaha yang akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Aturan ini merupakan kelanjutan dari Perpres Strategi Nasional Bisnis dan HAM (Stranas BHAM), yang masa berlakunya akan berakhir pada akhir tahun ini. “Kemudian kita juga menyiapkan indikator penilaian pelaku usaha dalam bentuk perpres. Pelanjutan dari perpres NSB HAM yang mau berakhir tahun ini. Penamaannya masih dalam pembahasan,” ungkap Munafrizal. Inisiatif ini diharapkan memperkuat kerangka hukum yang ada, mendorong perusahaan untuk mengadopsi praktik bisnis yang etis dan berkelanjutan.
Dalam perspektif akademis, pendekatan ini mencerminkan evolusi pemikiran HAM di Indonesia, yang kini tidak lagi terbatas pada ranah pemerintahan semata, melainkan meluas ke sektor swasta dan komunitas lokal. Para pakar HAM melihat inisiatif seperti desa sadar HAM sebagai upaya membangun “demokrasi substantif,” di mana hak asasi bukan hanya deklarasi, tapi menjadi bagian integral dari budaya sehari-hari. Namun, tantangan tetap ada: bagaimana memastikan implementasi yang merata di tengah keragaman sosial-ekonomi Indonesia? Jawabannya, menurut Pigai dan timnya, terletak pada kolaborasi lintas sektor yang berkelanjutan.
Artikel ini disusun berdasarkan keterangan resmi dari KemenHAM, dengan penekanan pada implikasi filosofis dan praktis dari kebijakan tersebut, guna memberikan pemahaman yang lebih holistik bagi pembaca. Pembaruan terkait regulasi baru akan dipantau dan dilaporkan secara berkala.
Pewarta : Vie
