
RI News Portal. Semarang, 18 Oktober 2025 – Di tengah guyuran hujan deras yang terus menggerus lereng bukit, puluhan warga Kampung Pucung RT 2 RW 2 Kelurahan Bambankerep, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, kembali menuntut keadilan atas rumah-rumah mereka yang retak-retak akibat pengerukan tanah liar oleh PT Petropack Agro Industries. Mediasi intensif digelar hari ini di Biro Hukum Sekretariat Daerah (SETDA) Provinsi Jawa Tengah, mempertemukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Jalan Lurus (GJL), pejabat pemerintah setempat, warga terdampak, dan perwakilan perusahaan—sebuah upaya darurat untuk mencegah bencana longsor yang kian dekat.
Dipimpin langsung oleh Kepala Biro Hukum SETDA Provinsi Jawa Tengah, Haerudin SH.MH, forum ini menegaskan semangat kolaborasi di atas konflik. “Mediasi bukan arena menang-kalah atau salah-benar. Kita semua punya niat baik untuk selesaikan masalah ini. Tak ada yang ingin hidup dalam keresahan. PT Petropack butuh warga untuk kenyamanan lingkungan, dan warga butuh perusahaan untuk lapangan kerja. Mari kita luruskan hati bersama,” tegas Haerudin, membuka ruang dialog yang penuh emosi tapi terkendali.
Konflik ini berakar pada mediasi sebelumnya tanggal 27 Maret 2025 di kantor PT Petropack, yang menghasilkan berita acara kesepakatan. Saat itu, warga menyerahkan data kerusakan dan penawaran ganti rugi, tapi hingga kini nol realisasi. Ketua GJL Kota Semarang, Budi Priyono SE, tak menahan amarahnya. “Prinsipnya, PT Petropack tak punya itikad baik. Kami hubungi berulang kali, tapi diabaikan. Rumah warga sudah retak parah—ini urusan nyawa! Dari kajian hukum kami, ada pelanggaran lingkungan jelas. Kami butuh kepastian sekarang, bukan janji kosong.”

Lurah Bambankerep, Agung Susilo SE, mengonfirmasi dokumen kesepakatan lama itu sambil berharap, “Semoga hari ini lahir solusi nyata. Semua pihak pantas dapat kenyamanan.” Sementara Ketua RT 02 RW 02, Nur Cahyono, menggambarkan kepanikan warga: “Cuaca hujan nonstop bikin kami cemas ekstrem. Jangan tunggu korban jiwa dari longsor ini. PT harus bertindak tegas soal ganti rugi tanah terdampak!”
Perwakilan PT Petropack, Ronald, mengaku pengerukan tanah awalnya dikontrakkan ke pihak ketiga yang kini “kabur” setelah insiden. Via telepon dengan pimpinannya, ia menyodorkan tawaran: ganti rugi Rp1 juta per meter persegi, dibayar bertahap. Reaksi warga? Penolakan keras. Seorang ibu rumah tangga terdampak berteriak, “Nominal itu zonk! Kami minta mediasi lanjutan dengan direktur langsung. Setiap kali, utusan mereka beda orang—tak pernah serius!”
Menanggapi desakan itu, Haerudin langsung menggebrak meja perencanaan: pertemuan lanjutan dijadwalkan Jumat, 31 Oktober 2025, tepat di kantor PT Petropack. “Direktur harus hadir pribadi. Tak ada alasan lagi,” pintanya tegas.
Sriyanto, Ketua GJL Kecamatan Ngaliyan, menutup sesi dengan pesan inspiratif: “Kami selalu ajak anggota patuh hukum dan berkomitmen jalan lurus. Terima kasih semua pihak yang peduli. Ini perjuangan untuk rakyat yang terpinggirkan.” Warga pun serempak bersuara: “Pemerintah provinsi harus turun tangan tegas! Kembalikan hak kami—ganti tanah sesuai kerugian nyata yang kami alami bertahun-tahun.”
Kasus ini mencerminkan luka dalam tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan dan sosial di Indonesia. Pengerukan tak terkendali tak hanya ciptakan retakan fisik, tapi juga erosi kepercayaan masyarakat. Analis hukum lingkungan menilai, tanpa pengawasan ketat provinsi, proyek industri serupa berpotensi ulangi tragedi longsor fatal seperti di berbagai daerah rawan bencana. Mediasi hari ini: langkah awal menuju keadilan, atau sekadar tambal sulam? Jawabannya tergantung konsistensi PT Petropack di pertemuan akhir bulan.
Pewarta : Sriyanto
