
RI News Portal. Manado, 25 September 2025 – Di bawah langit mendung Sulawesi Utara yang seolah mencerminkan kegelisahan masyarakat, ratusan warga yang tergabung dalam Brigade Nusa Utara Indonesia (BNUI) kembali menggelorakan suara protes mereka hari ini. Aksi unjuk rasa damai ini, yang berlangsung tepat di depan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil ATR/BPN) Sulawesi Utara, menjadi panggung bagi tuntutan mendesak untuk membersihkan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang telah merampas hak-hak tanah rakyat kecil. Bukan sekadar demonstrasi rutin, gelombang ini menyoroti luka mendalam pada sistem pertanahan nasional, di mana mafia tanah diduga bersekongkol dengan oknum lembaga pemerintah untuk menggelapkan kompensasi yang seharusnya menjadi hak pemilik sah.
Ketua Umum BNUI, Stenly Daniel Sendow SH, memimpin massa dengan penuh semangat, membawa spanduk bertuliskan “Kembalikan Hak Tanah Rakyat!” dan “Gebuk Mafia Tanah Sampai Tuntas!”. Demonstrasi ini bukan yang pertama bagi BNUI; organisasi adat yang lahir dari semangat pelestarian budaya Nusa Utara ini telah berulang kali turun ke jalan, seperti pada aksi sebelumnya di Kejaksaan Tinggi Sulut awal bulan ini, di mana mereka menuntut penegakan hukum atas kasus serupa yang menimpa mantan guru besar IPB, Prof. Ing Mokoginta. Namun, hari ini, fokus beralih ke kasus spesifik yang lebih dekat dengan denyut nadi masyarakat Minahasa Utara: kesalahan fatal dalam proses pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur jalan tol SBY-Minahasa Utara.

Lokasi sengketa berada di depan Rumah Duka Lux Aeterna, sebuah titik yang seharusnya menjadi simbol pelayanan kemanusiaan, kini justru menjadi saksi bisu atas ketidakadilan administratif. Menurut dokumen-dokumen yang diserahkan BNUI kepada pihak BPN, kesalahan prosedural terjadi saat pembayaran ganti rugi tanah. Berdasarkan peta terlampir dan bukti kepemilikan hukum, dana kompensasi yang seharusnya mengalir ke pemilik sah malah dialihkan ke pihak ketiga yang tidak memiliki ikatan hukum apa pun dengan lahan tersebut. “Ini bukan sekadar kesalahan administratif; ini adalah bentuk penggelapan yang terstruktur, di mana mafia tanah memanfaatkan celah birokrasi untuk merampok hak rakyat,” tegas Sendow dalam pernyataan resminya usai audiensi.
Audiensi singkat namun krusial itu berlangsung di ruangan Tutuarima, di mana Sendow dan tim utama BNUI diterima langsung oleh Kepala Kanwil ATR/BPN Sulut, Erry Juliani Pasoreh SH, MSi. Pasoreh, yang dikenal sebagai pejabat yang responsif terhadap aspirasi masyarakat, mendengarkan tuntutan dengan teliti, meski belum ada komitmen konkret yang diungkapkan secara publik. Dalam pertemuan berdurasi sekitar 45 menit itu, BNUI menyerahkan memori of protest lengkap, termasuk salinan sertifikat tanah, putusan pengadilan terkait, dan analisis kesalahan prosedural yang diduga melibatkan panitia pengadaan tanah. “Kami menghargai langkah BPN untuk berdialog, tapi dialog tanpa aksi nyata hanyalah formalitas. Rakyat menunggu koreksi segera,” ujar Sendow, yang juga menyoroti bagaimana praktik ini merusak kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
Baca juga : Undian Simanis BPR Bank Sukoharjo: Jembatan Ekonomi Masyarakat Menuju Kesejahteraan Berkelanjutan
Tuntutan BNUI kali ini lebih tajam dan multifaset, mencerminkan kedalaman isu mafia tanah yang telah menjadi momok nasional. Pertama, mereka mendesak BPN Sulawesi Utara dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara untuk segera mengoreksi kesalahan pembayaran ganti rugi. “Pembayaran harus dikembalikan ke pemilik sah, berdasarkan data yang telah kami lampirkan. Jangan biarkan korban menjadi korban dua kali,” desak Sendow, merujuk pada keluarga pemilik tanah yang kini terlantar tanpa kompensasi, sementara proyek jalan tol terus bergulir. Kedua, penegakan hukum tegas terhadap oknum mafia tanah dan panitia pengadaan yang terlibat. BNUI menuntut audit independen atas seluruh proses pengadaan di ruas tersebut, dengan melibatkan KPK untuk mengungkap jejak suap dan kolusi.
Yang paling mencolok, aksi ini juga menjadi seruan reformasi struktural. Sendow tak segan mengkritik, “Kami mendapat kesan bahwa BPN ini sudah dalam kendali mafia tanah. Bayangkan, pemilik tanah dengan dokumen resmi bisa kehilangan hak hanya karena BPN mengeluarkan surat untuk pihak lain yang tak punya hubungan hukum. Makanya, demonstrasi kami juga meminta BPN kembali ke marwah yang benar dan baik – transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat.” Pernyataan ini menggemakan kekhawatiran lebih luas di kalangan pakar hukum pertanahan, yang melihat kasus seperti ini sebagai gejala sistemik di mana regulasi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 sering kali dilanggar demi kepentingan segelintir elite.
Dari perspektif akademis, fenomena ini patut direnungkan sebagai studi kasus tentang interseksi antara adat, hukum formal, dan pembangunan infrastruktur. Sebagaimana dianalisis dalam jurnal hukum terkini, mafia tanah bukan hanya pelaku kriminal, melainkan produk dari ketidakefektifan pengawasan birokrasi yang memungkinkan konflik kepemilikan lahan menjadi senjata ekonomi. Di Minahasa Utara, di mana tanah bukan sekadar aset, tapi warisan adat yang menyimpan nilai spiritual, kesalahan seperti ini tak hanya merugikan finansial – estimasi kerugian dalam kasus ini mencapai puluhan miliar rupiah – tapi juga mengikis ikatan sosial komunal. Pakar agraria dari Universitas Sam Ratulangi, Dr. (Hukum) Maria L. Sompotan, yang dihubungi secara terpisah, menekankan bahwa tanpa reformasi digitalisasi sertifikasi tanah, kasus serupa akan terus berulang, memperlemah fondasi pembangunan berkelanjutan di wilayah timur Indonesia.
Aksi BNUI hari ini berakhir secara damai sekitar pukul 14.00 WITA, dengan massa bubar setelah doa bersama adat Minahasa yang menekankan nilai keadilan dan kebersamaan. Namun, pesannya bergema: ini bukan akhir, melainkan babak baru dalam perjuangan melawan bayang-bayang gelap pertanahan. Pemerintah daerah dan pusat kini dihadapkan pada pilihan – apakah akan membiarkan jeritan rakyat tenggelam dalam birokrasi, atau justru mengubahnya menjadi momentum untuk membersihkan rumah tangga pertanahan nasional? Hanya waktu yang akan menjawab, tapi bagi warga seperti mereka di depan Rumah Duka Lux Aeterna, waktu sudah terlalu lama.
Pewarta : Marca Kawulusan
