
RI News Portal. Panyabungan, Mandailing Natal – 9 September 2025 – Di tengah hiruk-pikuk pasar tradisional yang menjadi denyut nadi ekonomi masyarakat Mandailing Natal (Madina), gelombang protes meletus di depan Gedung DPRD Kabupaten pada Senin kemarin. Sekelompok mahasiswa bergabung dengan para pedagang Pasar Baru Panyabungan dalam aksi unjuk rasa yang menyoroti dugaan ketidakadilan dalam kebijakan pemerintah daerah. Aksi ini bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan ekspresi kolektif dari keresahan yang telah lama terpendam, mencerminkan dinamika demokrasi lokal di wilayah pedesaan Sumatera Utara di mana akses terhadap keadilan ekonomi sering kali terhambat oleh birokrasi yang opaque.
Aksi dimulai sekitar pukul pagi dan berlangsung secara tertib di bawah pengawasan ketat aparat kepolisian, menghindari eskalasi kekerasan yang kerap mewarnai demonstrasi serupa di daerah lain. Massa membawa spanduk berisi slogan-slogan kritis, seperti “Kembalikan Hak Pedagang, Bukan Beban Tambahan!” dan “Transparansi untuk Rakyat, Bukan untuk Elite!”. Koordinator aksi, Indra Saputra, yang mewakili aliansi mahasiswa dan pedagang, menyatakan bahwa protes ini adalah respons terhadap serangkaian kebijakan yang dianggap merugikan lapisan masyarakat bawah, khususnya para pelaku usaha kecil di Pasar Baru. “Jika tuntutan kami tidak ditanggapi serius, terutama soal Pasar Baru, aksi akan berlanjut tanpa henti,” tegas Indra di hadapan massa, menekankan urgensi dialog yang substantif daripada janji kosong.
Inti dari protes ini adalah 21 poin tuntutan yang disampaikan secara tertulis kepada DPRD dan Pemerintah Kabupaten Madina. Tuntutan-tuntutan tersebut mencakup isu-isu ekonomi lokal yang saling terkait, mulai dari pengelolaan pasar hingga pengawasan sumber daya alam. Para demonstran menuntut peninjauan ulang harga sewa kios di Pasar Baru, yang dinilai memberatkan di tengah penurunan daya beli masyarakat akibat inflasi regional. Mereka juga menolak penerapan pembayaran sewa secara retroaktif, menekankan agar hanya diberlakukan sejak pembukaan pasar pada Januari lalu. Selain itu, Bupati Madina diminta mengkaji ulang retribusi pasar sebesar Rp 2 juta, yang sudah mencakup biaya kebersihan dan pelayanan, namun masih dibebani biaya tambahan untuk fasilitas seperti toilet dan parkir—sebuah praktik yang dianggap sebagai bentuk pemerasan terselubung.

Lebih jauh, tuntutan menyentuh isu kepemilikan kios yang diduga dikuasai oleh aparatur sipil negara (ASN) yang bukan pedagang asli, dengan permintaan agar dikembalikan kepada mereka yang benar-benar bergantung pada perdagangan untuk hidup. Ada juga desakan untuk mengusut dugaan manipulasi dalam pencabutan nomor kios oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag), terutama terhadap pedagang korban kebakaran yang belum melunasi bangunan mereka. Di luar urusan pasar, massa mendesak DPRD untuk menetapkan peraturan daerah (perda) tentang jam malam bagi pelajar, sebagai upaya pencegahan kenakalan remaja di tengah maraknya pengaruh negatif di wilayah urban Panyabungan.
Aspek pertambangan dan sumber daya alam menjadi sorotan tajam dalam tuntutan ini, mencerminkan ketegangan antara eksploitasi korporat dan hak masyarakat lokal. Demonstran memperjuangkan pengesahan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) ke pemerintah pusat, serta pembuatan regulasi pajak dan izin penjualan hasil tambang rakyat untuk memastikan manfaat ekonomi merata. Kajian ulang transparansi keberadaan PT Sorik Mas Mining (PT SMM) dan wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) mereka diminta dilakukan secara terbuka, diikuti transparansi sewa 11 ruko di Pasar Lama oleh Dinas Perindag. Selain itu, ada tuntutan transparansi hasil laporan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DITJEN EBTKE) terkait semburan lumpur panas di Desa Roburan Dolok, serta optimalisasi pengawasan penyerapan tenaga kerja lokal di perusahaan-perusahaan swasta.
Baca juga : DPRD Jawa Tengah Terima Aspirasi Gerakan Jalan Lurus: Soroti Hukum, Premanisme, hingga Ketahanan Pangan
Tuntutan lain mencakup desakan transparansi sidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT SMGP, dukungan percepatan dan transparansi Hak Guna Usaha (HGU) seluruh kebun sawit di Madina, serta perjuangan hak petani atas lahan plasma di wilayah perusahaan perkebunan, khususnya Pantai Barat—di mana undang-undang telah mengatur kewajiban perusahaan, namun implementasinya sering diabaikan oleh pemerintah daerah. Massa juga mendesak pembentukan perda untuk kelompok masyarakat dalam pengawasan keamanan dan pencegahan penyalahgunaan narkoba, transparansi dana Corporate Social Responsibility (CSR) seluruh perusahaan sebagai hak masyarakat, dan pencopotan Kepala Dinas Perindag yang dinilai gagal menyelesaikan persoalan pasar.
Perwakilan DPRD Madina menerima massa di tengah aksi, mendengarkan aspirasi mereka dalam sesi dialog singkat. Namun, para demonstran menegaskan bahwa mereka tidak akan puas dengan respons verbal semata; tindakan nyata diharapkan dalam waktu dekat. “Tuntutan ini akan kami kawal hingga terealisasi, khususnya soal Pasar Baru,” ujar Indra, menggarisbawahi komitmen jangka panjang aliansi ini.
Aksi ini menambah daftar panjang protes di Madina sepanjang 2025, di mana isu pasar dan pertambangan sering menjadi pemicu. Sebelumnya, pada Februari lalu, pedagang Pasar Baru juga mendatangi DPRD menuntut pembukaan portal e-parking yang menghambat akses, sementara pada Juni, mahasiswa dari Front Mahasiswa Islam (FMI) Madina berdemonstrasi menentang tempat hiburan malam. Baru pekan lalu, aksi serupa oleh Cipayung Plus pada 3 September menyuarakan tuntutan anti-korupsi, termasuk penghapusan fasilitas mewah DPR, yang berakhir damai dengan makan siang bersama polisi dan legislator. Pola ini menunjukkan tren peningkatan partisipasi sipil di daerah, di mana mahasiswa dan pedagang menjadi garda depan dalam menuntut akuntabilitas pemerintah, meski sering kali dihadapkan pada respons yang lambat.
Aksi semacam ini mengilustrasikan teori mobilisasi sumber daya dalam studi gerakan sosial, di mana kelompok marginal memanfaatkan aliansi lintas-sektor untuk memperkuat suara mereka terhadap hegemoni birokrasi. Namun, tanpa reformasi struktural, protes ini berisiko menjadi siklus tanpa akhir, meninggalkan masyarakat Madina dalam ketidakpastian ekonomi. Pemerintah daerah kini diuji: apakah akan merespons dengan kebijakan inklusif, atau membiarkan ketegangan memanas lebih lanjut?
Pewarta : Indra Saputra
