RI News Portal. Beijing/Tokyo, 17 November 2025 – Seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Jepang tiba di China pada Senin ini untuk melakukan pembicaraan darurat guna meredakan ketegangan bilateral yang dipicu oleh pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi mengenai skenario darurat di Taiwan. Kunjungan ini mencerminkan dinamika kompleks dalam hubungan Sino-Jepang, di mana isu keamanan regional semakin tumpang tindih dengan prinsip diplomatik historis.
Masaaki Kanai, Kepala Biro Urusan Asia dan Oseania di Kementerian Luar Negeri Jepang, dijadwalkan bertemu dengan mitranya dari China pada Selasa (18/11). Menurut sumber pemerintah Jepang yang mengetahui agenda tersebut, Kanai akan menegaskan bahwa pernyataan Takaichi tidak merevisi posisi fundamental Jepang sebagaimana tertuang dalam Komunike Bersama Jepang-China tahun 1972. Dokumen historis itu menetapkan pengakuan Jepang terhadap Republik Rakyat China sebagai satu-satunya pemerintahan sah yang mewakili China, sebuah prinsip yang tetap menjadi fondasi kebijakan luar negeri Tokyo.
Konflik ini bermula dari pernyataan Takaichi pada awal November, di mana ia menyatakan bahwa situasi darurat di Taiwan yang melibatkan penggunaan kekuatan militer dapat dikategorikan sebagai “ancaman terhadap kelangsungan hidup” Jepang. Pernyataan tersebut mengimplikasikan potensi aktivasi hak pembelaan diri kolektif berdasarkan interpretasi Konstitusi Pasal 9 Jepang, yang secara eksplisit menolak perang sebagai instrumen kebijakan negara. Analis hubungan internasional menilai, langkah retorika ini merupakan respons terhadap meningkatnya aktivitas militer China di Selat Taiwan, meskipun Jepang secara resmi mempertahankan kebijakan “Satu China” sejak normalisasi hubungan pada 1972.

Respons China terhadap pernyataan tersebut bersifat tegas dan multidimensi. Pada Jumat (14/11), Kementerian Luar Negeri China memanggil Duta Besar Jepang di Beijing, Kenji Kanasugi, untuk menyampaikan tuntutan pencabutan pernyataan Takaichi. Beijing menegaskan bahwa Taiwan adalah urusan internal yang tidak boleh diintervensi oleh pihak eksternal, sebuah narasi yang konsisten dengan doktrin “satu China” yang dianut Partai Komunis China. Sementara itu, Jepang merespons dengan protes diplomatik atas unggahan seorang diplomat China di media sosial, yang dianggap melampaui batas etika diplomasi.
Eskalasi lebih lanjut terlihat dalam tindakan Konsul Jenderal China di Osaka, Xue Jian, yang melalui platform digital menyatakan kesiapan untuk “melakukan tindakan kekerasan ekstrem tanpa ragu-ragu” sebagai tanggapan atas pernyataan Takaichi. Unggahan tersebut, meskipun kemudian menjadi subyek protes Jepang, mencerminkan nada konfrontatif yang jarang terlihat dalam komunikasi resmi, dan menyoroti bagaimana saluran non-tradisional semakin memengaruhi diplomasi bilateral.
Dampaknya meluas ke ranah sipil. Pekan lalu, otoritas China mengeluarkan peringatan perjalanan bagi warganya, merekomendasikan penghindaran kunjungan ke Jepang serta peninjauan ulang rencana studi di sana, dengan alasan potensi risiko keselamatan. Langkah ini, yang muncul di tengah ketegangan, berpotensi memengaruhi arus wisatawan dan pelajar—dua pilar utama interaksi masyarakat kedua negara—dan menandai eskalasi dari diplomasi ke domain publik.
Dari perspektif akademis, insiden ini mengilustrasikan paradoks dalam hubungan Jepang-China pasca-Perang Dingin: ketergantungan ekonomi yang tinggi (dengan perdagangan bilateral mencapai ratusan miliar dolar AS setiap tahun) bertabrakan dengan persaingan strategis di Indo-Pasifik. Pakar keamanan Asia Timur, seperti yang dikemukakan dalam studi terbaru dari lembaga think tank regional, memperingatkan bahwa retorika semacam ini dapat memicu spiral ketegangan jika tidak dikelola melalui saluran back-channel. Kunjungan Kanai, oleh karena itu, bukan sekadar respons taktis, melainkan upaya strategis untuk mempertahankan stabilitas di tengah dinamika aliansi Jepang dengan Amerika Serikat—yang semakin menekankan peran Tokyo dalam isu Taiwan—sambil menghormati komitmen historis terhadap Beijing.
Pembicaraan Selasa diharapkan fokus pada klarifikasi posisi mutual dan pencegahan mispersepsi, meskipun hasilnya tetap tidak pasti mengingat sensitivitas isu Taiwan bagi kedua belah pihak. Observers internasional akan memantau apakah inisiatif ini dapat meredam gelombang ketegangan atau justru menjadi preseden bagi konfrontasi berkelanjutan di kawasan.
Pewarta : Anjar Bramantyo

