RI News Portal. Balige, 8 Desember 2025 – Dua pekan pasca-bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Sibolga serta Tapanuli Tengah, warga Kabupaten Toba di Sumatera Utara kini berjuang melawan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Meski wilayah Balige lolos dari dampak langsung bencana, gangguan distribusi pasokan membuat antrean panjang di setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) menjadi pemandangan sehari-hari. Fenomena ini tidak hanya mengganggu mobilitas, tapi juga memukul roda ekonomi lokal, khususnya pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Roy Sihombing, seorang pengusaha transportasi lokal berusia 45 tahun, menjadi salah satu saksi mata atas keresahan ini. Ia tiba di SPBU Jalan Baba Lubis sejak subuh, bergabung dengan deretan kendaraan yang membentang hingga satu kilometer. “Sudah dua minggu ini kondisinya begini, sejak longsor parah di Adiang Koting yang memutus jalur utama Balige-Sibolga,” ungkap Roy kepada wartawan saat menunggu giliran. Longsor tersebut, yang terjadi akibat hujan deras intensif, merusak infrastruktur jalan raya vital, sehingga truk pengangkut BBM kesulitan menjangkau Balige. Akibatnya, stok di SPBU menipis, dan pembelian untuk sepeda motor dibatasi hanya lima liter per orang.

Dalam wawancara di lokasi, Roy menggambarkan rutinitas melelahkan itu: “Kami parkir berjam-jam, kadang lebih dari dua jam, di tengah udara dingin pegunungan. BBM belum datang, tapi antrean sudah mengular. Ini bukan cuma soal bensin, tapi soal nafkah harian kami yang terganggu.” Ia menambahkan, situasi ini memaksa banyak warga, termasuk dirinya, untuk membatalkan jadwal pengiriman barang, yang pada akhirnya menumpuk kerugian ekonomi.
Keluhan serupa bergaung dari Hairil Tanjung, 38 tahun, pemilik warung kopi dan distributor bahan pokok di Kecamatan Balige. Sebagai pelaku UMKM yang bergantung pada pasokan harian dari luar daerah, Hairil harus rela mengorbankan waktu istirahatnya untuk mengantre. “Ketiga SPBU di Balige semuanya sama: antrean panjang, stok terbatas, dan kami menunggu di dinginnya pagi buta,” ceritanya sambil menggosok tangan untuk menghangatkan diri. Bagi Hairil, kelangkaan ini bukan sekadar ketidaknyamanan sementara, melainkan ancaman nyata terhadap kelangsungan usahanya. “Saya harus antre berjam-jam demi mengisi tangki mobil, padahal ini mengganggu distribusi barang ke pelanggan. Kalau dibiarkan, UMKM seperti milik saya bisa kolaps.”
Para ahli lingkungan dan tata kota menyoroti bahwa bencana alam seperti ini semakin sering terjadi di wilayah pegunungan Sumatera Utara akibat perubahan iklim, yang memperburuk kerentanan infrastruktur. Dr. Surya Pandjaitan, pakar manajemen bencana dari Universitas Sumatera Utara (USU), dalam pernyataan resminya kepada media, menekankan perlunya strategi cadangan pasokan energi yang lebih tangguh. “Longsor di Adiang Koting bukan kejadian pertama; ini menunjukkan betapa rapuhnya rantai logistik BBM di daerah rawan bencana. Pemerintah daerah harus segera mengaktifkan rute alternatif dan stok darurat untuk mencegah eskalasi krisis,” ujarnya. Pandjaitan juga mengingatkan bahwa tanpa intervensi cepat, dampaknya bisa meluas ke sektor pertanian dan pariwisata, yang menjadi tulang punggung ekonomi Toba.
Hingga kini, pemerintah Kabupaten Toba belum merespons secara resmi keluhan warga. Namun, Roy dan Hairil tak menyembunyikan harapannya: solusi konkret dari otoritas setempat. “Kami butuh BBM untuk bekerja, untuk bertahan. Tolong pemerintah bantu percepat distribusi, jangan biarkan kami terpuruk seperti ini,” tegas Roy. Sementara itu, warga Balige terus bertahan, menjadikan antrean SPBU sebagai simbol ketangguhan di tengah musim bencana yang tak kunjung usai. Pemantauan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan pasokan stabil kembali, sebelum kelangkaan ini memicu keresahan sosial yang lebih dalam.
Pewarta : Adi Tanjoeng

