
RI News Portal. Jakarta, 9 Agustus 2025 — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi tengah berkoordinasi intensif dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung potensi kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji oleh Kementerian Agama (Kemenag) pada tahun 2023–2024.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa komunikasi dengan BPK difokuskan pada aspek kuantifikasi kerugian negara yang timbul dari pembagian kuota haji yang diduga menyimpang dari ketentuan hukum.
“Kami koordinasi dan komunikasi dengan pihak Badan Pemeriksa Keuangan,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu dini hari.
Asep menjelaskan bahwa penghitungan kerugian negara akan berpusat pada alokasi kuota tambahan yang semestinya masuk dalam kategori haji reguler, namun dialihkan menjadi kuota haji khusus.
“Penghitungannya nanti dari jumlah kuota tambahan yang seharusnya menjadi kuota reguler, kemudian menjadi kuota khusus. Itu hasil komunikasi dengan pihak BPK,” jelasnya.

Langkah ini menyusul perkembangan penyelidikan yang telah memasuki tahap akhir, termasuk pemeriksaan terhadap mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, pada 7 Agustus 2025.
Proporsi Menurut UU No. 8/2019 | Proporsi Realisasi 2024 | Selisih Potensial | |
---|---|---|---|
Haji Reguler | 92% | 50% | -42% |
Haji Khusus | 8% | 50% | +42% |
Pergeseran kuota ini tidak hanya berpotensi merugikan negara secara finansial, tetapi juga menimbulkan ketimpangan akses bagi calon jemaah haji reguler yang telah menunggu bertahun-tahun. Selain itu, kuota haji khusus umumnya dikaitkan dengan biaya lebih tinggi dan layanan premium, sehingga membuka ruang bagi praktik rente dan penyalahgunaan kewenangan.
Baca juga : Menyemai Patriotisme di Jalan Raya: Polres Melawi Bagikan Bendera Merah Putih Sambut HUT ke-80 RI
KPK menegaskan bahwa proses hukum akan terus berjalan sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Koordinasi dengan BPK menjadi krusial untuk memastikan bahwa kerugian negara dapat dihitung secara objektif dan menjadi dasar penindakan lebih lanjut.
Kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya reformasi menyeluruh dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji, termasuk transparansi dalam penentuan kuota, pengawasan lintas lembaga, dan pelibatan publik dalam pengambilan keputusan. Jika terbukti terjadi pelanggaran sistemik, maka bukan hanya individu yang harus bertanggung jawab, melainkan juga struktur kebijakan yang memungkinkan praktik tersebut berlangsung.
Pewarta : Yudha Purnama
