
RI News Portal. Gorontalo, 20 September 2025 – Dalam era digital di mana setiap ucapan bisa menjadi senjata boomerang, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Gorontalo, Wahyudin Moridu, kini berada di pusaran badai kritik publik. Video berdurasi singkat yang merebak di platform TikTok dan media sosial lainnya sejak Jumat malam (19/9) menampilkan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini dengan nada ringan, seolah bercanda, mengakui rencana “merampok” anggaran negara untuk perjalanan pribadi ke Makassar bersama seorang wanita yang disebutnya sebagai “hugel” atau hubungan gelap. Pernyataan itu, yang disampaikan sambil tertawa di dalam mobil, bukan hanya menyinggung isu korupsi tapi juga moralitas pejabat publik, memicu perdebatan mendalam tentang integritas legislatif di tingkat daerah.
Rekaman tersebut dimulai dengan Wahyudin, yang mengenakan kacamata hitam dan kaus biru sambil mengemudikan kendaraan, menjawab pertanyaan perempuan di sampingnya tentang tujuan perjalanan. “Kita hari ini mau menuju Makassar menggunakan uang negara. Kita rampok saja uang negara ini. Kita habiskan saja. Biar negara semakin miskin,” katanya dengan nada santai, diikuti gelak tawa berdua. Ia bahkan menambahkan, “Membawa hugel langsung ke Makassar menggunakan uang negara. Siapa ji? Wahyudin Moridu, Anggota DPRD Provinsi Gorontalo. Nanti 2031 mo barenti, masih lama.” Video itu, yang kini telah ditonton jutaan kali, segera menjadi bahan olok-olok dan kemarahan netizen, dengan tagar #WahyudinMoridu dan #RampokUangNegara mendominasi linimasa X (sebelumnya Twitter) sepanjang malam.

Respons cepat dari Wahyudin tidak lama datang. Didampingi istrinya, Megawati Musi, ia merilis video klarifikasi di Instagram dan Facebook, memohon maaf atas nama pribadi dan keluarga. “Saya tidak berniat melecehkan atau menyinggung perasaan masyarakat Gorontalo yang saya wakili. Semua ini murni kesalahan saya, dan atas kejadian ini saya memohon maaf beribu-ribu maaf,” ujarnya dengan suara bergetar, sambil menggenggam tangan sang istri. Dalam klarifikasi lanjutan kepada Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Gorontalo, Wahyudin mengaku rekaman itu dibuat dalam kondisi mabuk berat setelah minum-minum keras semalaman, hingga keadaan “tidak sadar” saat tiba di bandara. “Itu bukan niat sungguhan, tapi kesalahan fatal yang saya sesali,” tambahnya.
Namun, permintaan maaf itu tampaknya belum meredam api kontroversi. BK DPRD Gorontalo, dipimpin Fikram Salilama, telah memanggil Wahyudin untuk pemeriksaan intensif pada Jumat malam, menyelidiki apakah ucapan tersebut melanggar etika anggota dewan. Sementara itu, DPP PDIP mengindikasikan kemungkinan pemecatan kader, mengingat pernyataan itu bertentangan dengan prinsip partai yang menjunjung anti-korupsi. Sejarah Wahyudin yang pernah terjerat kasus narkoba pada 2020—di mana ia ditangkap di Jakarta karena pengonsumsian—kini kembali menjadi sorotan, memperkuat narasi bahwa rekam jejaknya rentan terhadap pelanggaran berulang.
Dari perspektif hukum, kasus ini menyoroti kerapuhan etika pejabat publik di hadapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Meski Wahyudin mengklaim ucapannya sebagai lelucon mabuk, pakar hukum tata negara dari Universitas Gorontalo, Dr. Habibullah, menilai hal itu berpotensi memenuhi unsur “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana Pasal 3 UU Tipikor, yang mengancam pidana penjara hingga 20 tahun jika terbukti ada penggelapan anggaran dinas untuk kepentingan pribadi. “Ucapan ‘rampok uang negara’ bukan sekadar guyonan; ia merepresentasikan sikap mental yang merendahkan amanah rakyat. Jika terbukti perjalanan itu memang didanai APBD tanpa prosedur yang sah, ini bisa naik ke ranah pidana,” tegas Habibullah dalam wawancara eksklusif dengan redaksi.
Lebih lanjut, tinjauan terhadap Kode Etik DPRD sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Tata Tertib DPRD menekankan kewajiban anggota untuk menjaga martabat lembaga. Pelanggaran seperti ini bisa berujung pada sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pemberhentian paksa. Analisis komparatif dengan kasus serupa, seperti kontroversi anggota DPRD Jawa Barat yang viral karena pesta mewah pada 2023, menunjukkan bahwa pengadilan sering kali mempertimbangkan konteks “mabuk” sebagai faktor meringankan, tapi tidak menghapus akuntabilitas. “Hukum kita masih bergantung pada bukti konkret, bukan sekadar rekaman viral. Namun, di era digital, opini publik bisa mempercepat proses yudisial,” tambah Habibullah.
Di balik dimensi hukum, dampak sosial dari video ini jauh lebih luas dan berbahaya, terutama di Provinsi Gorontalo yang masih bergulat dengan indeks persepsi korupsi rendah menurut survei Transparency International 2024. Risiko utama adalah erosi kepercayaan publik terhadap institusi legislatif daerah, di mana survei internal PDIP menunjukkan penurunan dukungan hingga 15% di kalangan pemilih muda pasca-insiden ini. “Pernyataan seperti ini memperkuat stereotip bahwa wakil rakyat adalah predator anggaran, bukan pelindung rakyat. Di masyarakat agraris seperti Gorontalo, di mana kemiskinan mencapai 18% (BPS 2025), ucapan ‘biar negara miskin’ terasa seperti pukulan telak bagi yang sudah terpinggirkan,” ungkap sosiolog Universitas Negeri Gorontalo, Prof. Sitti Nuraini, dalam analisisnya.
Lebih dalam lagi, kasus ini memunculkan risiko polarisasi sosial: di satu sisi, pendukung Wahyudin—terutama basis PDIP di daerah pedesaan—mempertahankan narasi “kesalahan manusiawi”, sementara kelompok aktivis anti-korupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) menyerukan demonstrasi virtual dengan ribuan peserta. Dampak jangka panjang termasuk demoralisasi generasi muda terhadap politik, di mana data KPU menunjukkan partisipasi pemilih di Gorontalo turun 7% pada Pilkada 2024. “Risiko sosial ini bukan hanya tentang satu orang, tapi tentang bagaimana media sosial memperbesar celah antara elite dan rakyat. Tanpa reformasi etika digital bagi pejabat, kita berisiko melihat ledakan ketidakpuasan serupa di daerah lain,” lanjut Nuraini.
Hingga berita ini diturunkan, BK DPRD Gorontalo menyatakan proses investigasi masih berlangsung, dengan kemungkinan rekomendasi pemecatan diajukan ke Rapat Paripurna minggu depan. PDIP pusat juga merespons dengan pernyataan resmi, menegaskan komitmen membersihkan kader bermasalah. Bagi Wahyudin, yang masa jabatannya masih panjang hingga 2031, insiden ini menjadi pengingat pahit: di dunia maya, candaan bisa menjadi akhir dari karier politik. Masyarakat Gorontalo, yang kini menuntut transparansi lebih, menanti apakah permintaan maaf itu cukup, atau justru menjadi katalisator perubahan sistemik dalam tata kelola daerah.
Pewarta : Marco Kawulusan
